Thursday, November 19, 2009

Pelatihan Bisnis MINYAK ATSIRI Gel. VI (12-13 Desember 2009)

Download Brosur Pelatihan : KLIK DISINI
klik FREE USER, lalu klik icon DOWNLOAD. File dalam bentuk pdf.

Dear rekan-rekan..

Bersama ini kami informasikan bahwa "Pelatihan Budidaya dan Penyulingan Minyak Atsiri, Gel. 6" akan kami selenggarakan pada tanggal 12-13 Desember 2009 bertempat di Bandung (hari-1) dan Subang (hari-2).

Adapun materi yg akan disampaikan mencakup:
1. Pengetahuan/wawasan umum minyak atsiri
2. Kendala pengembangan bisnis minyak atsiri
3. Teknik pemasaran minyak atsiri
4. Teknik produksi minyak atsiri dgn proses penyulingan
5. Studi kelayakan bisnis minyak atsiri
6. Teknik pembibitan dan budidaya nilam dan sereh wangi sistem organik
7. Teknik pembuatan pupuk organik padat dan cair serta pestisida nabati
8. Praktek penyulingan (sereh wangi, pala, nilam)

Biaya Pelatihan : Rp 1.300.000,- (termasuk training kit, makan siang 2x, snack, transportasi bandung-subang PP, bundel artikel minyak atsiri)

Informasi lebih lanjut, hub. Rijal (085624931119) atau email: training_atsiri@yahoo.com

Program training dan magang di penyulingan minyak pala

Pada tanggal 17 – 21 Desember 2009 (saat tulisan ini di-upload kegiatan masih berlangsung) di pabrik penyulingan minyak pala, Ciawi – Bogor diselenggarakan kegiatan magang dan training bekerjasama dengan BAPPEDA Kabupaten Fak-Fak, Papua Barat berkaitan dengan usaha dan produksi minyak pala. BAPPEDA Kab. Fak-Fak mendapatkan hibah alat penyulingan minyak pala dan sedang mempersiapkan SDM-SDM untuk mengoperasikan pabrik penyulingan minyak pala tersebut sehingga beberapa diantaranya dikirim untuk magang di tempat kami.

Pada kegiatan tersebut, para peserta magang dapat mengamati bahkan melakukan secara langsung proses produksi minyak pala dari awal sampai akhir yang didampingi oleh para operator kami. Selain itu juga diberikan secara detail beberapa materi seperti :
- Bahan baku minyak pala beserta kriterianya
- Proses produksi minyak pala

- Analisis minyak pala
- Pemasaran minyak pala
- Studi kelayakan bisnis minyak pala
Serta hal-hal teknis lainnya berkaitan dengan bisnis minyak pala secar
a nyata, dan rasional.

Bagi instansi-instansi pemerintahan daerah, LSM/NGO, maupun perusahaan-perusahan nasional/multinasional melalui program CSR-nya yang berkehendak melakukan kerjasama dengan kami sehubungan dengan berbagai aspek dalam usaha minyak atsiri, silakan menghubungi kami (Ferry – 08111100720). Kerjasama dalam hal penyiapan SDM-SDM minyak atsiri ini dapat dilakukan dalam bentuk:

- Program magang di pabrik penyulingan minyak pala, nilam, cengkeh, maupun sereh wangi.
- Pelatihan budidaya beberapa komoditas minyak atsiri (terutama nilam dan sereh wangi), mulai dari pembibitan hingga pemanenan
- In-house training

Wednesday, November 18, 2009

Top 20 Essential Oils (in the world)

Berikut 20 teratas penggunaan terbanyak minyak atsiri di dunia versi Majalah Parfumer & Flavorist. Cetak tebal = minyak atsiri yg diproduksi di Indonesia,

1. Orange (51,000 ton)
2. Cornmint (32,000 ton)
3. Lemon (9,200 ton)
4. Eucalyptus (4,000 ton)
5. Peppermint (3,300 ton)
6. Citronella (1,800 ton)
7. Clove Leaf (1,800 ton)
8. Chinese Sassafras (1,800 ton)
9. Lime distilled (1,800 ton)
10. Lavandin (1,300 ton)
11. Patchouli (1,200 ton)
12. Scotch Spearmint (1,040 ton)
13. Eucalyptus citriodora (1,000 ton)
14. Chinese Cedarwood (800 ton)
15. Litsea Cubeba (760 ton)
16. Native Spearmint (750 ton)
17. Texas Cedarwood (550 ton)
18. Star Anise (500 ton)
19. Mandarin (460 ton)
20. Virginia Cedarwood (300 ton)

(Approximate volumes for 2007)
Source: Perfumer & Flavorist vol 34 January 2009

Friday, November 13, 2009

Minyak Atsiri dan PT. JASAMARGA

Lho apa gerangan hubungannya? Jalan tol?? Minyak atsiri??

Dalam perjalanan menuju Jakarta dari Bandung via tol Cipularang, seraya menyaksikan pemandangan di luar kendaraan pada musim pancaroba ini, tampak sedikit pemandangan yang membuat pikiran saya mengawang-awang sejenak. Bukan dalam skenario yang menunjukkan ohh.. indahnya alam pemandangan di luar sana yang mulai sedikit menghijau diterpa cubitan mesra sang rintik hujan pembawa kesegaran alami. Juga bukan pada irama seorang lelaki tua yang ringkih namun tetap piawai mencangkul centi demi centi tanah untuk sebidang tanaman singkong penambal hidup.

Kalau tulisan saya sudah masuk blog ini, tentu saja nuansa minyak atsiri senantiasa membelai awang-awang itu. Begini ceritanya, saya melihat deretan pagar-pagar sepanjang jalan tol cipularang (dengan panjang sekitar 50 km) sebagai batas tanah antara milik (mungkin) masyarakat dengan milik PT. JASAMARGA. Jarak antara batas terluar sisi jalan tol (yang diaspal) dengan pagar-pagar tersebut cukup lebar. Memang jaraknya bervariasi tergantung kontur tanah dan kondisi lahannya. Mungkin antara 10 m – 20 m, tapi kadang-kadang juga bisa lebih dari 20 m. Konturnya ada yang rata, landai, bahkan banyak juga yang sangat curam. Sebagian besar ditumbuhi oleh alang-alang, tanaman-tanaman perdu, bahkan hanya sekedar semak-semak yang tumbuh dengan sendirinya. Adapula tanaman-tanaman keras baik yang sengaja ditanam untuk penghijauan maupun yang sudah ada di sana sebelum pembangunan jalan tol yang menurut saya cukup spektakuler ini. Namun sepanjang pengamatan saya, sebagian besar lahan tersebut cukup terbuka dan kurang termanfaatkan secara maksimal baik dari sisi estetika maupun komersial.

Waktu itu saya berfikir, mungkin tidak ya kalau lahan-lahan kosong di sisi jalan tol tersebut (masih dalam lokasi tanah milik PT. JASAMARGA) ditanami komoditas minyak atsiri? Kalau mungkin, tanaman apa gerangan? Meskipun saya bukan karyawan atau pejabat JASAMARGA, boleh dong ikut mikirin sedikit…hehe. Sebisa mungkin komoditas atsiri tersebut mendatangkan keuntungan bagi si empunya lahan (meskipun tidak harus dalam bentuk finansial) maupun mendatangkan pekerjaan sampingan bagi penduduk sekitar lahan tersebut untuk menambah kocek mereka.

Kalau melihat kontur tanah curam, maka tentu saja daerah tersebut rawan terjadinya erosi. Bukan tidak mungkin pula suatu saat akan menimbulkan kelongsoran. Titik pemikiran saya dimulai dari fenomena tersebut, tanaman minyak atsiri apa yang bisa berfungsi sebagai penahan erosi. Dari hasil membaca-baca literatur dan diskusi dengan kawan-kawan ternyata tanaman akar wangi dan sereh wangi bisa berfungsi sebagai penahan erosi. Di antara kedua tanaman tersebut, saya lebih berpihak kepada sereh wangi. Upss… bukan karena kami memproduksi dan berkebun sereh wangi, lho.

Jika tanaman tersebut ingin difungsikan juga sebagai lahan bisnis komersial dan memberikan pekerjaan bagi penduduk sekitar secara berkelanjutan, maka sereh wangilah pilihannya. Ada beberapa argumentasi berkaitan dengan hal ini.

1. Daya penahan erosi akar wangi disinyalir memang lebih baik dari sereh wangi karena sistem perakarannya lebih kuat dan lebih dalam menyusur tanah. Tetapi apabila akan diproduksi minyak atsiri akar wangi, maka tanaman tersebut harus dicabut dari tanah mengingat bagian akarnya yang harus disuling. Sehingga keberlangsung hidup tanaman akar wangi tersebut akan terhenti. Artinya harus dilakukan penanaman kembali setiap 1 – 1.5 tahun sekali untuk mendapatkan keuntungan serupa.

2. Waktu tumbuh tanaman akar wangi lebih lama untuk dapat menimbulkan perakaran yang baik guna menahan erosi.

3. Sereh wangi yang disuling adalah daunnya. Daunnya mulai dipangkas pada umur 6 bulan setelah mulai ditanam dan setelah itu setiap 2-3 bulan sekali. Sehingga sistem seperti ini tidak memutus daur kehidupan sereh wangi. Setiap dipangkas daunnya, dia akan tumbuh kembali dan tumbuh kembali tanpa harus dilakukan penanaman ulang. Akarnya pun akan semakin kuat mencengkeram dan menjalar di dalam tanah.

4. Menurut rekan saya seorang praktisi yang sudah lama mengembangkan tanaman sereh wangi, dengan sistem panen seperti di atas usia produktif tanaman ini bisa mencapai 5 – 10 tahun. Setelah itu baru dilakukan peremajaan. Usia produktif yang jauh lebih lama daripada tanaman akar wangi.

Secara finansial, mari kita berandai-andai dengan hitung-hitungan sederhana saja. Apabila setiap 6 m (kalau 2 sisi kanan dan kiri maka menjadi 12 m) lahan kosong (6 m ini dihitung dari pagar pembatas lahan, atau disesuaikan dengan kebutuhan penahanan erosi tadi), maka setiap KM di kedua sisi jalan tol ini akan ditumbuhi sekitar 14.000 batang sereh wangi dengan asumsi jarak tanaman 1 x 1 m. Kalau lebih rapat lagi misalnya 80 x 80 cm maka populasinya akan lebih banyak lagi. Nah, jika 50 KM kedua sisi jalan tol tersebut ditanami sereh wangi, maka akan terdapat 700.000 tanaman. Dengan asumsi 1 tanaman akan menghasilkan 1 kg daun segar, maka setiap kali panen akan menghasilkan 600 ton bahan baku segar yang ekivalen dengan 4.9 – 5.6 ton minyak sereh wangi (rendemen minyak 0.7 – 0.8% basis basah). Jumlah ini setara dengan Rp 392.000.000,- s/d Rp 448.000.000,- per 2-3 bulan sekali. Dengan Harga Pokok Produksi (HPP) sekitar Rp 50.000,- per kg minyak maka keuntungan bersih yang akan diperoleh sekitar Rp 150jt – Rp 170jt per 2-3 bulan. Memang jumlah ini sangat sangat kecil bagi perusahaan sekelas JASAMARGA. Tetapi JASAMARGA dapat mengambil keuntungan dari community development dengan memberdayakan masyarakat sekitar maupun dari kelestarian lahan akibat terhambatnya proses erosi tanah akibat kehadiran tanaman sereh wangi ini.

Untuk menambah pemasukan, di sisi-sisi jalan tol juga bisa ditanami aneka tanaman keras minyak atsiri yang pemasarannya tidak terlalu sulit. Sebut saja tanaman pala, ylang-ylang, kenanga, atau bahkan kayu putih.

Tentu gagasan di atas masih sangat mentah. Ini khan cuma sekedar mengawang-awang sepanjang selintasan perjalanan…hehe. Banyak hal-hal teknis yang perlu dikaji dan dipelajari untuk mewujudkan gagasan ini. Terutama berkaitan dengan pelayanan terhadap pengguna jasa jalan tol sebagai bisnis utama JASAMARGA. Apakah dengan adanya aktivitas ini akan mengganggu kelancaran berlalu lintas atau tidak, terutama pada saat panen sereh wangi yang membutuhkan banyak orang juga sistem transportasi untuk mengangkut hasil panen ke pabrik penyulingan terdekat. Menurut hitungan saya setidaknya dibutuhkan 4 ketel penyulingan (yang pastinya letaknya harus terpisah untuk efektivitas pengangkutan) kapasitas 1 ton sekali masak. Nah, pabriknya mau di mana saja itu supaya simpel dan efisien khan perlu dipelajari juga..hehe.

Sunday, November 08, 2009

International Seminar on Essential Oil (ISEO) 2009

Pada tanggal 26-28 Oktober 2009 lalu telah diselenggarakan International Seminar on Essential Oil 2009 oleh Direktorat Jendral Industri Kecil dan Menengah – Departemen Perindustrian RI di IPB International Convention Center – Bogor. Seminar international ini merupakan kali kedua diselenggarakan (pertama kali di Jakarta pada tahun 2007) dan diagendakan sebagai event 2 tahunan.

ISEO 2009 yang bertemakan “Creating Sustainable Business in Essential Oil Through Partnership” mengetengahkan beberapa makalah dari keynote speaker baik dalam maupun luar negeri, yaitu:

1.Best Practices of Essential Oil Production System, oleh K. Vijayakumar (Vigirom and Co. – India)
2.Perspective on Essential Oil Derivatives Industry in Indonesia, oleh Robby Gunawan (PT. Indesso Aroma – Indonesia)
3.Importance of Producer Organization in Essential Oil Business, oleh Thierry Duclos (European Federation of Essential Oil)
4.Cluster Approach on Development Indonesian Essential Oil, oleh Meika S Rusli (Dewan Atsiri Indonesia)
5.New Creative Essential Oil Products and Application, oleh Nurliani Bermawie (Balitro – Bogor)
6.Standard and Quality Requirement for Essential Oil, oleh Pierre Ruch (Firmenich – Prancis)

Disamping 6 makalah sesi pleno di atas, terdapat sekitar 20 makalah/tulisan karya peneliti, mahasiswa, dan praktisi minyak atsiri tanah air dalam sesi pararel maupun makalah poster.

Selain kegiatan indoor, juga diadakan kegiatan outdoor berupa field trip (kunjungan lapangan) ke penyulingan minyak nilam (lokasi percontohan program cultiva untuk komoditas nilam – Dewan Atsiri Indonesia) dan penyulingan minyak sereh wangi. Keduanya berada di Kabupaten Kuningan – Jawa Barat.

Di sela-sela kegiatan seminar, para peserta dapat cuci mata sejenak melihat-lihat pameran minyak atsiri yang diikuti oleh para eksportir, produsen, lembaga penelitian, perwakilan IKM beberapa kabupaten, dan perusahaan pengguna minyak atsiri.
Pada kegiatan tersebut, saya lebih banyak bercengkerama dengan teman-teman penyuling maupun pelaku bisnis minyak atsiri lainnya. Mereka datang dari berbagai daerah dengan berbagai komoditas minyak atsiri yang berbeda sebagai bahan studi banding dan tentu saja media pembelajaran bagi saya pribadi untuk menambah wawasan, ilmu, dan pengetahuan-pengetahuan praktis minyak atsiri.

Sesuai dengan temanya, diharapkan bahwa dengan program kemitraan yang baik dan saling menguntungkan antara petani, produsen, pedagang, dan eksportir maka akan tercipta iklim usaha minyak atsiri yang kondusif dan berkelanjutan.

Sebenarnya saya ingin share makalah-makalah ISEO 2009 di blog ini untuk rekan-rekan peminat minyak atsiri yang belum berkesempatan menghadiri kegiatan ini, tapi mengingat saya tidak memiliki wewenang dan belum meminta izin untuk menyebarkannya dari si empunya acara, maka kita tunggu saja release langsung dari website Dewan Atsiri Indonesia.

Perihal Produk-produk Turunan Crude Essential Oil

Beberapa waktu lalu saat saya menghadiri undangan (thanks untuk Dewan Atsiri Indonesia-DAI atas undangannya) untuk mengikuti ISEO 2009 (International Seminar on Essential Oil) yang diselenggarakan oleh Departemen Perindustrian RI di Bogor, dipresentasikan sebuah makalah pada sesi panel yang dibawakan oleh salah satu keynote speaker Bapak Robby Gunawan (Predir PT. Indesso Aroma). Pemaparan yang bertajuk “Perspective on Essential Oil Derivatives Industry in Indonesia” cukup menarik perhatian saya. Pertama, selain karena Pak Robby sendiri merupakan orang nomor satu dari perusahaan aroma terkemuka di Indonesia dimana produknya adalah turunan-turunan minyak atsiri (terutama minyak cengkeh). Kedua, topik mengenai turunan minyak atsiri ini sering dilontarkan oleh para peneliti atau pengamat dari berbagai bidang ilmu yang berkaitan dengan minyak atsiri, meskipun masih pada diskursus seputaran aspek ilmiah dan teknologinya saja dan belum menyentuh pada pengembangannya menjadi sebuah entitas bisnis. Sebab kalau sudah bicara bisnis, kita tidak hanya bicara masalah teknis proses dan produksinya saja. Tetapi jauh lebih luas dari itu, mulai dari supply chain management hingga marketing. Ketiga, kebetulan pula kami juga produsen minyak atsiri sereh wangi yang mau tidak mau pada akhirnya akan (bahkan sudah) bermimpi (tapi baru bermimpi, lho…hehe) untuk membuat turunannya seperti citronellal, citronellol, maupun geraniol.

Saat memaparkan presentasinya, Pak Robby menyinggung pula masalah minyak sereh wangi (citronella oil) dan minyak terpentin (turpentine oil) yang potensinya di Indonesia untuk diproduksi turunannya sangat besar. Tetapi beliau belum menjelaskan mengapa sampai saat ini industri turunan kedua minyak atsiri tersebut kurang berkembang (atau bahasa kasarnya TIDAK berkembang). Ada apa gerangan padahal potensi bahan bakunya cukup besar di negara kita? Hal inilah yang pada akhirnya membuat saya ingin bertanya mengapa hal ini terjadi. Apalagi saya tahu bahwasannya PT Indesso Aroma merupakan produsen aroma dari turunan minyak cengkeh yang cukup berhasil di negeri ini tetapi tidak mengembangkan turunan dari kedua jenis minyak atsiri tersebut.
Saat sesi tanya-jawab, saya melontarkan pertanyaan yang isinya kurang lebih demikian.

1.Minyak sereh wangi kandungan utamanya adalah citronellal, citronellol, dan geraniol. Ketiga komponen tersebut jika dilihat perbedaan titik didihnya cukup lebar. Dari sisi teknis, apabila diterapkan konsep fraksionasi vakum untuk memisahkan ketiga komponen tersebut masih memungkinkan diselenggarakan pada skala UKM. Prosesnya juga (mungkin) tidak perlu menggunakan perangkat MD (molecular distillation) yang investasinya miliaran rupiah. Bagaimana potensi ketiga produk turunan minyak sereh wangi tersebut dan mengapa PT Indesso Aroma tidak mengembangkannya sebagai salah satu komoditas unggulannya seperti halnya turunan minyak cengkeh.

2.Kita tahu bahwa minyak terpentin merupakan produk samping dari industri gum rosin (gondorukem) yang diproses dari getah pohon pinus. Potensi bahan bakunya cukup besar dan saat ini memang hanya dikuasai oleh Perum Perhutani sebagai pemegang kuasa dari pemerintah untuk pengelolaan dan konservasi hutan pinus di Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda ( tahun 1915) negara ini memproduksi minyak terpentin (pernyataan ini mengutif makalah dosen saya dulu Dr. Ir. Tatang H soerawidjaja), tetapi mengapa sampai saat ini dan sudah 90 tahun lebih industri turunannya tidak berkembang. Padahal kalau diruntut, minyak terpentin yang kadar utamanya adalah komponen-komponen atsiri golongan non-oxygenated terpenes (a-pinen, b-pinen, terpinen, dll) bisa dibuat puluhan jenis produk-produk aromatis sebagai turunannya. Menurut pendapat Pak Robby, apa yang mengakibatkan terjadinya stagnasi seperti ini? Dan saran saya kepada DAI sebaiknya mengadakan audiensi dengan Perum Perhutani berkaitan dengan wacana pengembangan minyak terpentin menjadi turunannya.

Kedua pertanyaan saya di atas ditanggapi demikian oleh beliau dan menurut saya cukup clear dan tepat.

1.Pasar dunia untuk ketiga komponen turunan minyak sereh wangi tersebut saat ini sudah didominasi oleh produk-produk sintesis yang harganya lebih murah daripada produk alaminya (eks. minyak sereh wangi). [Catatan: yang dimaksud produk sintesis adalah produk tersebut dibuat dari bahan-bahan lain melalui serangkaian reaksi kimia sehingga menjadi produk yang diinginkan). Bahkan citronellal (sintesis) dan citronellol (sintesis) sendiri merupakan salah satu turunan minyak terpentin. Memang ada pengguna citronellal, citronellol, dan geraniol, tetapi permintaannya tidak banyak. Menghasilkan ketiga komoditas dengan teknik fransionasi vakum bisa saja dilakukan tetapi biaya operasionalnya tidak mampu bersaing dengan produk-produk sintesisnya.

2.[Untuk jawaban no. 2 ini saya tuliskan dengan kata-kata saya sendiri untuk menghindari kesalahan penangkapan persepsi). Dari dulu hingga sekarang, ada kesulitan/kendala untuk mengambil bahan baku minyak terpentin dari Perum Perhutani atau bahkan pengembangan produk turunan minyak terpentin oleh Perum Perhutani itu sendiri yang disebabkan oleh berbagai faktor. Juga sampai saat ini masih ada pemikiran bahwa menjual minyak terpentin mentah saja sudah untung, sehingga masih enggan untuk memproduksi turunannya. Beliau juga berharap mungkin DAI dan Departemen Perindustrian bisa beraudiensi dengan pihak Perum Perhutani untuk bersama-sama mengembangkan produk turunan minyak terpentin ini.

Demikian salah satu diskusi pada acara ISEO 2009 kemarin. Semoga menambah wawasan bagi teman-teman penggemar minyak atsiri.

Thursday, November 05, 2009

KONSEP SEDERHANA UNTUK MENINGKATKAN KADAR PA MINYAK NILAM

Banyak kalangan penyuling “terhantui” oleh pikiran high tech saat berkutat pada wacana peningkatan kadar PA pada minyak nilam hasil sulingannya. Orang (mungkin) berfikir tentang teknik redistilasi, refinery, atau bahkan fraksionasi vakum untuk keperluan tersebut yang notabene harus melakukan kegiatan investasi yang cukup lumayan.

Sebelumnya mari kita samakan persepsi dulu berkaitan dengan peningkatan kadar PA ini. Peningkatan kadar PA yang saya maksudkan di atas bukanlah untuk menghasilkan minyak nilam dengan PA ekstra tinggi, misalnya di atas 50-60%, 80%, atau bahkan mendekati PA murni (98%). Karena minyak nilam dengan kadar PA demikian tentulah memiliki segmen pasar yang sangat khusus dan agak sulit terjangkau bagi para penyuling di level “crude oil”. Sebagai penyuling crude oil (menurut saya) kita bisa tinggalkan sejenak wacana tersebut jika pasarnyapun masih tidak jelas. Jadi, kegiatan peningkatan kadar PA yang saya maksud di atas adalah sampai dengan batas kualitas rata-rata/standar (di atas 30 atau 31%) mengingat karena beberapa faktor banyak juga penyuling yang hasil produksinya hanya memiliki kualitas di bawah rata-rata (kadar PA 26-28). Kalau kadar PA-nya sudah standar, untuk apa kita susah-susah meningkatkannya lagi. Apalagi kalau ternyata peningkatan harganya juga tidak terlalu signifikan. Dalam konteks ini, saya lebih berfikiran pragmatis.

Kadar PA yang rendah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:

1. Waktu penyulingan yang kurang lama. Kadar PA tertinggi dihasilkan di saat-saat akhir proses penyulingan. Apabila waktu penyulingan 8 jam, maka mulai jam ke-6 s/d jam ke-8 akan dihasilkan minyak dengan kadar PA di atas rata-rata. Saya pernah membuktikannya dengan memisah-misahkan hasil penyulingan berdasarkan jam operasi (jam ke-1 s/d jam ke-8) lalu dianalisis kadar PA-nya masing-masing. Hasilnya, semakin lama waktu operasi terjadi peningkatan kadar PA yang signifikan. Hanya saja jumlah minyak yang dihasilkan dari jam ke-6 s/d jam ke-8 jauh lebih sedikit daripada jam ke-1 s/d jam ke-5.

2. Laju alir uap yang sedikit atau tidak sebanding dengan jumlah bahan baku yang disuling. Hal ini juga menyebabkan rendemen minyak rendah serta waktu penyulingan lebih lama. Jumlah uap yang sedikit menyebabkan campuran uap dan minyak terlalu cepat jenuh dan lebih banyak berisi fraksi ringannya, padahal PA merupakan fraksi berat.

3. Rasio daun:batang. Makin tinggi rasio daun:batang, maka bisa dipastikan kadar PA-nya semakin turun. Kadar PA tertinggi terletak pada batang meskipun apabila rasio daun:batang makin kecil maka rendemen minyaknya akan turun mengingat kadar PA di batang tidak sebanyak pada daun. Kalau hanya daun saja yang disuling, rendemen minyaknya dapat mencapai 5-6% tetap kadar PA-nya akan turun tajam. Sedangkan pada batang, rendemen minyaknya hanya 0.5-0.7% tetapi dihasilkan minyak dengan kadar PA di atas 40%, bahkan bisa juga mencapai di atas 50%.

4. Lokasi budidaya. Penanaman nilam di bawah naungan/teduhan menghasilkan kadar PA yang berbeda dibandingkan dengan di lahan terbuka dan tersinari matahari secara utuh. Penanaman di dataran tinggi dengan di dataran rendah juga menunjukkan hasil minyak dengan kadar PA yang berbeda. Menanam nilam di Pulau Jawa (meskipun dengan bibit asal Sumatra Utara/Aceh dan perawatan yang baik), kadar PA minyak hasil sulingannya tidak setinggi apabila ditanam di daerah Sumatra Utara/Aceh yang ditanam di lereng-lereng perbukitan dengan perawatan minim.

Konsep sederhana yang saya maksud dari judul tulisan di atas mengacu pada poin ke-3 di atas. Artinya, apabila minyak nilam hasil produksi anda rendah (di bawah rata-rata) maka sulinglah batang-batang nilam atau hasil cabutan pohon nilam yang sudah tidak produktif. Hasil minyaknya yang notabene memiliki PA tinggi di-blending dengan hasil sulingan yang memiliki kadar PA rendah. Batang atau pangkal pohon nilam memang memiliki rendemen yang sangat rendah. Sebagian besar penyuling hanya memotong-motong batang nilam kering sebelum disuling dengan ukuran beragam (5-15 cm). Salah seorang rekan saya (kebetulan juga customer saya) mencoba menyuling batang/pangkal batang nilam kering yang sebelumnya sudah dihancurkan hingga menyerupai serbuk gergaji. Hasilnya cukup positif, rendemen minyaknya meningkat dari 0.6-0.7% menjadi 1-1.2%. Untuk keperluan ini tentu dibutuhkan mesin penghancurnya.


Apabila anda memiliki 100 kg minyak nilam dengan kadar PA 27%, berapakah jumlah minyak nilam PA tinggi yang dibutuhkan untuk pencampuran agar kadar PA-nya menjadi standar (misalnya 30%)?

Rumusnya sederhana saja:

P = (X1 * (W1/W1+W2))+(X2 * (W2/W1+W2))

dengan,
P = kadar PA yang diinginkan setelah pencampuran - diketahui
X1 = kadar PA minyak nilam yang rendah - diketahui
W1 = jumlah minyak nilam PA rendah yang dicampurkan - diketahui
X2 = kadar PA minyak nilam yang tinggi (dari batang) - diketahui
W2 = jumlah minyak nilam PA tinggi yang dicampurkan – dicari jawabnya