Friday, June 15, 2012

Pengolahan minyak nilam dengan teknik fermentasi - sebuah komentar (2)

Saya ingin melanjutkan komentar saya perihal proses produksi minyak nilam dengan teknik fermentasi yang konon khabarnya bisa mencapai rendemen 10-16%.  Pada tulisan saya sebelumnya mengenai subyek ini, memang tidak saya tuliskan secara eksplisit apakah teknik di atas benar atau salah. Memang bukan tipikal komentar hitam atau putih. Kalau memang mau dikatakan komentar abu-abu, ya silakan saja :) Saya hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan baik dari sisi batasan pemahaman ilmiah saya maupun dari sisi entitas bisnisnya itu sendiri. Selebihnya, silakan rekan-rekan pembaca untuk berfikir dan mencerna kembali sedalam-dalamnya, apalagi jika memang benar-benar berminat dan serius menekuni dunia perminyak-atsirian ini.

Ada berbagai alasan mengapa saya tidak bisa memberikan komentar/tanggapan yang “hitam atau putih”. Diantaranya adalah :

1. Saya sendiri belum pernah mencoba dan mempraktekkan langsung teknik tersebut, jadi nggak bisa dong bilang itu salah atau itu benar. Saya cuma ambil analisis, sekali lagi menurut batasan logika dan kemampuan ilmiah dan teoritis yang saya miliki. Kalau mau mendengarkan komentar yang yang lebih jelas dan obyektif, silakan ditanyakan kepada teman-teman yang pernah mengikuti program trainingnya lalu mencobanya sendiri di rumahnya masing-masing :) Jangan ditanyakan kepada saya…hehe. Saya sih cuma nyuling-nyuling biasa saja dan dengan cara-cara yang umum-umum saja.

2. Saya teringat peristiwa beberapa waktu lalu perihal “blue energy” yaitu konsep bahan bakar/energi menggunakan air yang  Bapak Presiden kita yang terhormat pun sempat terkesima dengan kajian ini dan sampai-sampai menjadikannya sebagai program nasional. Para pakar terkait beramai-ramai mempergunjingkan konsep ini (termasuk teman-teman saya dan beberapa kolega saya yang paham mengenai sisi ilmiahnya) karena menurut mereka hal ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi karena “menyalahi” hukum alam, yaitu hukum termodinamika I mengenai neraca energi (energy balance)….Upsss…maaf kalau saya ngomong “jorok”…hehehe. Dan ternyata, gunjingan itu bisa jadi benar karena gaungnya sampai saat ini (setelah lebih dari 4 tahun semenjak issu itu beredar) tidak terdengar sama sekali dan hilang ditelan bumi. So, menurut saya benar atau tidaknya teknik “revolusioner” fermentasi nilam tinggal menunggu waktu saja. Kalau sampai 1 atau 2 tahun mendatang ternyata banyak orang mengadopsi teknik ini dan menjadi sesuatu yang umum diperbincangkan, maka kita anggap saja teknik tersebut benar. Tentunya terlepas dari dampak bisnis minyak nilam secara global akibat ditemukannya teknik revolusioner ini.

3. Kalau konsep “blue energy” di atas dikatakan sangat menyimpang dari hukum alam, apakah teknik fermentasi untuk pengolahan minyak nilam juga menyalahi hukum alam? Mari kita bercermin pada peristiwa fermentasi sederhana, yaitu pembuatan alkohol/ethanol (boleh dibaca = bioethanol). Apa yang terjadi pada proses tersebut? Ethanol melalui teknik fermentasi biasanya menggunakan bahan-bahan baku yang mengandung kadar pati atau karbohidrat yang tinggi. Sebut saja; ubi kayu/singkong, jagung, sorghum, molase/tetes tebu, kentang, sagu, sukun, nira (aren, kelapa, siwalan, lontar, nipah, dll). Pati yang terkandung di dalam bahan-bahan di atas terlebih dahulu dipecah menggunakan bantuan enzim pemecah pati seperti – yang paling umum – amilase  menjadi maltosa dan lebih lanjut menjadi glukosa. Dengan bantuan bakteri penghasil alkohol seperti Saccharomyces cereviseae, maka glukosa ini (dengan kondisi yang tepat) lebih lanjut akan terkonversi ethanol.  Lalu, kaldu fermentasi ini disuling deh (bahasa kerennya di-distilasi) untuk menciptakan kadar ethanol yang lebih tinggi. Apakah peristiwa atau reaksi-reaksi sejenis di atas “mungkin” terjadi pada daun nilam? Seperti yang sudah saya jelaskan pada bagian pertama tulisan ini, minyak nilam adalah satu kesatuan produk yang tersusun atas puluhan komponen kimia (mainly Patchouli Alcohol/PA). Bakteri apa yang cukup hebat mengkonversi selulosa, lignin, hemiselulosa, air, atau abu yang merupakan komposisi dari daun nilam menjadi aneka jenis komponen-komponen kimia penyusun minyak nilam yang cukup kompleks sehingga kadar minyaknya bisa menjadi 10-16%?? Mmmm….mungkin nggak ya? Saya sih kurang ahli pada masalah-masalah per-mikrobiologi-an seperti ini. Anggap saja mungkin terjadi yah…:)

Saya punya cerita lagi, nih? Mudah-mudahan tidak bosan menyimak cerita saya yang kali ini boleh dibilang ngelantur dan “ngomong jorok”. Saya alumni jurusan Teknik Kimia (tingkat sarjana, kalau masternya belum lulus udah mundur karena terlalu banyak ‘berkelana’). Waktu tingkat akhir ada mata kuliah yang namanya “Perancangan Proses”. Dosennya pada waktu itu adalah Prof. Ir. Saswinadi Sasmojo, Msc, PhD (sengaja saya tulis gelarnya lengkap biar keren…hehe, mudah-mudahan si empunya nggak baca karena beliau paling anti nulis-nulis gelarnya yang seabreg-abreg itu). Mata kuliah yang sangat filosofis dan fundamentalis mengenai pola-pola dan dasar pemikiran dalam merancang suatu proses. Salah satu studi kasus wajib pada mata kuliah ini adalah penemuan proses Solvay (nah, apa tuh??). 
Proses Solvay adalah proses pembuatan soda abu (natrium karbonat/Na2CO3) dengan bahan baku garam NaCl dan batu kapur (CaCO3) yang ditemukan oleh seorang industrialis Belgia bernama Ernest Solvay pada tahun 1861. Soda abu adalah bahan kimia anorganik dasar yang sangat tinggi permintaannya di dunia dan digunakan pada berbagai macam industri. Sebelum ditemukan proses Solvay, pembuatan soda abu ini merupakan proses yang sangat mahal karena menggunakan bahan baku yang harganya juga mahal. Proses Solvay menggunakan bahan baku yang sangat murah dan banyak tersedia berlimpah di alam yaitu garam NaCl dan batu kapur CaCO3. Tetapi yang meragukan para ahli pada waktu itu adalah bahwa garam NaCl dan kapur CaCO3 sama-sama berupa padatan. Bagaimana mungkin mereaksikan keduanya yang berupa padatan sehingga bisa berubah menjadi soda abu Na2CO3 menurut reaksi :
                  2 NaCl + CaCO3 → Na2CO3 + CaCl2
Padahal secara hukum alam, reaksi di atas sangat mungkin bisa terjadi. Menurut ilmu termodinamika yaitu konsep energy bebas Gibbs, jika DG dari reaksi tersebut negatif maka reaksi akan berjalan spontan (please, jangan tanya-tanya masalah ini….hehehe). Langsung pada esensinya, ternyata si Solvay ini mampu melakukan teknik-teknik dan strategi jitu lagi cerdik dengan memecah-mecah menjadi 6 reaksi yang pada intinya sebenarnya adalah pengejawahtahan dari reaksi di atas secara real. (Catatan = Tentunya saya tidak akan tulis keenam reaksi tersebut karena bikin pembaca merasa “tujuh keliling”. Blog ini khan untuk penggemar minyak atsiri, bukan untuk orang teknik kimia) Alhasil, dengan ditemukannya proses Solvay dengan jalur yang cerdik ini maka peta industri per-alkali-an (yang ngaku pernah sekolah sampai SMA - IPA harusnya tahu apa itu “alkali”) di dunia berubah total. Proses Solvay untuk produksi soda abu pun berkembang pesat sampai dengan saat ini. Dan hanya terkalahkan oleh tambang mineral soda abu (Trona) di Green River, Wyoming - USA karena langsung tersedia di alam tanpa dibuat melalui serangkaian reaksi kimia. Dan…masih banyak studi-studi kasus serupa yang intinya sama seperti di atas untuk aneka produk lainnya.

Jadi.....
Kembali ke masalah minyak nilam rendemen 10-16%. Bercermin (bercermin terus, sekarang diganti jadi berkaca.....) dari cerita saya di atas, jika memang terbukti benar tentunya teknik ini akan berkembang cukup pesat. Dan baru terkalahkan setelah ditemukannya tambang minyak nilam…hehe. Cukup disedot dari perut bumi, langsung saring pakai kain monel dan jadilah minyak nilam :). Mmmmh… kebutuhan soda abu dunia saat ini sekitar 48.000.000 ton per tahun, sedangkan minyak nilam cuma 1500-1800 ton per tahun. Entah, mungkin akan ada aplikasi-aplikasi lain dari minyak nilam selain untuk fiksatif dalam dunia perfumery. Teriring lagu dangdut buah karya Caca Handika……. Mandi NILAM tengah malam jangan kau lakukan kalau hanya mengharap maaf dariku……………

 
Well, saya cuma berharap di tengah ketidakmenentuan situasi dan anjloknya harga minyak nilam ini, mudah-mudahan tidak ada pihak-pihak tertentu yang mencoba untuk memanfaatkan situasi dari kegamangan para pelaku industri kecil minyak nilam atau pemain-pemain pemula dengan mengorbarkan berita-berita atau pernyataan-pernyataan yang yang belum teruji kebenarannya secara nyata untuk kepentingan jangka pendek semata.

Sunday, June 03, 2012

Pengolahan minyak nilam dengan teknik fermentasi - sebuah komentar

Sebenarnya saya enggan memberikan banyak komentar perihal “gossip” terbaru perihal peningkatan rendemen pengolahan minyak nilam yang konon khabarnya bisa mencapai 10-16% melalui teknik fermentasi yang dihembuskan oleh suatu majalah dan sempat beberapa kali ada program trainingnya. Tetapi karena banyaknya pertanyaan dari rekan-rekan penggemar minyak atsiri mulai dari SMS, inbox FB, email, hingga telpon yang terus terang saja membuat saya ‘bosan’ maka akhirnya saya tuangkan juga melalui tulisan di blog ini. Sehingga jika ada pertanyaan serupa di lain waktu, maka dengan mudahnya akan saya refer saja ke link ini jika ingin tahu komentar saya.

Pengolahan nilam melalui teknik fermentasi?? Ya, saya pernah mendengar dan membaca dari suatu tulisan berkenaan dengan hal ini yang dipublikasikan melalui sebuah paten yang bernomor US20070298482 dan berjudul “Process for increased patchoulol content in essential oil of Pogostemon cablin” atau silakan baca sendiri di link ini http://www.freepatentsonline.com/7879584.html. Akan tetapi teknik yang disampaikan melalui paten tersebut lebih banyak mengulas tentang peningkatan kadar patchoulol-nya (Patchouli Alcohol/PA) dan bukan berbicara mengenai peningkatan rendemen minyak nilam yang demikian revolusionernya seperti yang telah saya sebutkan di atas.

Sebenarnya apa itu proses fermentasi? Dalam pengertian ilmu saya (baca = teknik kimia) secara gamblang, fermentasi berarti proses konversi bahan baku menjadi suatu produk dengan memanfaatkan mikroba sebagai organisme pemroses. Yang pasti dalam proses terjadi suatu reaksi kimia yang dimotori oleh perkembangan, pertumbuhan, serta proses metabolisme mikroba dalam suatu media fermentasi. Mikroba ini bisa merupakan enzim, bakteri, atau bahkan jamur/kapang. Contoh proses fermentasi yang paling sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah proses pembuatan tape atau proses pembuatan tempe. Proses pembuatan tape melibatkan suatu mikroba yang dinamakan Saccharomyces cerevisiae (ragi). Sedangkan pembuatan tempe melibatkan jamur yang dinamakan Rhizopus oryzae atau juga Aspergillus niger. Dan masih banyak aneka produk yang dapat dihasilkan melalui teknik fermentasi seperti bioethanol, asam cuka (asetat), asam laktat, minuman-minuman beralkohol, kecap, vetsin (penyedap rasa), aneka jenis gula (fruktosa, maltosa, dll), yoghurt, nata de coco, biogas, asam sitrat,  dan lain sebagainya.

Lalu apa hubungannya ini semua dengan peningkatan rendemen minyak nilam yang lagi-lagi saya sebutkan “sangat revolusioner”. Minyak nilam, seperti halnya minyak atsiri lain pada umumnya merupakan satu kesatuan produk yang tersusun atau puluhan (atau bahkan ratusan) komponen-komponen kimia mulai dari golongan-golongan terpen (monoterpen, diterpen, oxygenated-terpen, seskuiterpen), persenyawaan berantai lurus, dan turunan-turunan benzena. Artinya, jika teknik fermentasi ini berhasil untuk meningkatan rendemen minyak nilam maka “what a fabulous bacteria” yang sanggup melakukan serangkaian reaksi mikrobiogis yang sangat kompleks. Bakteri itu harus sanggup menata aneka jenis reaksi kimia yang menghasilkan satu per satu komponen penyusun minyak nilam, baik melalui reaksi serentak maupun reaksi pararel. Pada naskah paten yang saya baca di atas, hanya terkonsentrasi pada pembentukan satu komponen yaitu patchoulol yang menurut saya masih dapat dimengerti (dan dipahami oleh rasio saya yang masih banyak batasnya ini). Tetapi kalau sampai meningkatkan rendemen hingga berkali-kali lipat, hal tersebut masih jauh dari batas rasio pemikiran saya. Pada sebuah kesempatan, saya pernah tanyakan kepada Dr. Brian M Lawrence – seorang pakar minyak atsiri level dunia yang sudah berpengalaman 45 tahun dalam jagad R & D minyak atsiri (selengkapnya silakan cari di google mengenai siapa dia) – beliau sangat sangat meragukan kebenaran thesis ini yang tentunya dilandasi dengan pemikiran-pemikiran ilmiah dan praktisnya.

Mengenai peningkatan kadar PA (bukan rendemen lho, ya) minyak nilam melalui fermentasi, saya punya sedikit cerita yang saya bawa pada saat ‘menemani’ para pelaku minyak atsiri dunia berkeliling Bali dan Jawa Tengah (pabrik penyulingan skala UKM dan pabrik ekstrak/turunan minyak atsiri modern) pada acara field trip pasca penyelenggaraan AAIC 2012 (Asian Aroma & Ingredients Congress) Mei 2012 lalu. Seorang ahli minyak atsiri dari India, sebut saja namanya Mr. Raja Varshney (pemilik/pendiri SOM Extract – India http://www.somextracts.com , sebuah perusahaan aroma & perfumery ingredient yang cukup besar di level dunia) bercakap-cakap dengan saya. Kira-kira begini isi percakapannya (sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia).

Beliau bertanya, “Feryanto, berapa lama kamu suling daun nilam setelah dijemur?”
Saya jawab, “Ya langsung disuling saja, Pak. Atau paling lama sekitar 1 minggu disimpan.”
Mr. Varshney langsung berkomentar, “Kamu harus diamkan dulu paling tidak selama 1 bulan (lebih dari 1 bulan lebih baik) dan biarkan dia terfermentasi secara alami. Jangan dijemur seluruhnya di bawah sinar matahari, keringkan dia di bawah teduhan (atau istilahnya diangin-anginkan saja). Hal itu akan membantu meningkatkan kadar PA pada minyak nilammu.” Saya termangu dan berusaha mencerna setiap detail ucapan Bahasa Inggrisnya yang agak-agak sulit saya mengerti. Mungkin inilah apa yang dimaksud dengan istilah "partially fermented" yang sering saya jumpai pada artikel-artikel mengenai pengolahan minyak nilam.
Lanjutnya, “Pada proses fermentasi alami itu terjadi suatu biokonversi yang menghasilkan patchouli alcohol. Coba kamu cium daun segar nilam ini dan bandingkan dengan daun nilam yang sudah kering. Pasti akan terasa jauh berbeda dari sisi aromanya.” Saya pun mengiyakan apa yang beliau ucapkan sambil mencium-cium daun nilam. Mr Varshney melanjutkan kuliahnya kepada saya, “Kemarin kita khan baru saja kunjungi pabrik pengolahan ekstrak vanilla di Bali (PT. Tripper Nature – Klungkung, Bali http://www.trippernature.com) dan kamu lihat apa yang dilakukan pada buah-buah vanilla itu sebelum diproses/diekstrak. Mereka melakukan proses curing untuk menciptakan aroma vanilla. Buah dan biji vanilla segar tidaklah memiliki aroma, tetapi setelah dilakukan proses curing akan muncul aroma khas vanilla yang selama ini kamu kenal. Hal yang sama juga akan terjadi pada daun nilam. Tidak cuma vanilla, tetapi juga cocoa, coffee, clove, dll.”

Mmmm….penjelasan beliau ini sangat masuk pada logika saya. Dalam hati saya akan melakukan sedikit penelitian untuk membuktikan statement beliau ini. (note = a little research is still in progress).

Well, kembali ke masalah rendemen minyak nilam 10-16% melalui teknik fermentasi. Saya tidak bisa mengatakan dengan tegas benar atau salahnya, mengada-ada atau tidaknya. Saya cuma berusaha mencerna baik dari sisi ilmiah (sejauh batas pengetahuan ilmiah saya) dan tentunya juga bila ditinjau dari aspek bisnis.

Menurut hemat saya masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan terlepas benar tidaknya apa yang disampaikan oleh majalah tersebut dan juga narasumber yang menginformasikannya kepada majalah tersebut. Diantaranya adalah ;

1. Andaikan benar memang demikian, yang menjadi pertanyaan adalah apa motif untuk menyebarkan informasi tersebut? Sebab jika kita bicara dalam konteks bisnis, jika informasi itu benar pasti yang bersangkutan akan menyimpan dalam-dalam rahasia prosesnya. Karena secara finansial hasilnya akan sangat fantastis. Kalau mereka membeli daun nilam kering (katakanlah harganya Rp 5000/kg – sekarang malah cuma Rp 2500,- s/d Rp 3000,-) dan dalam sehari bisa memproses 100 kg saja maka akan menghasilkan 16 kg minyak nilam yang ekivalen dengan nominal Rp 4.800.000,- (asumsi harga minyak nilam Rp 300.000,-/kg - April 2012) padahal ia hanya membeli bahan baku Rp 500.000,- saja. Artinya Gross Profit Margin untuk mengolah 100 kg bahan baku sama dengan Rp 4.300.000,-. (belum dikurangi biaya-biaya produksi lainnya yang menurut saya tidak akan besar). Jika saya ambil keuntungan bersih sekitar Rp 4.000.000,- per 100 kg bahan baku per hari, maka dalam 1 bulan akan menghasilkan keuntungan bersih Rp 120.000.000,- (1 tahun = 2.4M !!). Bayangkan kalau dia memproses 200 kg bahan baku per hari yang tentunya menghasilkan keuntungan 2x lipatnya. Dengan hasil sedemikian besarnya, maka saya pikir (dalam logika bisnis) maka mereka tidak perlu menjual alat-alat proses untuk menghasilkan rendemen nilam 16% kepada orang lain (baca=peserta training) dan tidak perlu menginformasikan kepada orang lain perihal apa yang telah ia lakukan.

2. Dengan hitung-hitungan keuntungan seperti di atas, tentunya tidak akan sulit baginya untuk memiliki sebuah pabrik yang sangat representatif, alat-alat proses yang cukup modern, bangunan yang representatif, juga mungkin saja terintegrasi dengan perkebunan nilam yang cukup luas. Tetapi apa yang saya lihat (dari photo-photo yang diambil seorang teman saat mengikuti trainingnya), jauh sekali dari kesan di atas.

3. Jika proses tersebut benar menghasilkan rendemen minyak nilam 16%, dampak apa yang akan terjadi dalam dunia perdagangan nilam Indonesia (atau dunia??)? Kebutuhan minyak nilam dunia sekitar 1600-1800 ton per tahun (saat ini khabarnya sudah menurun sebagai dampak dari tingginya harga minyak nilam pada akhir 2007 dan awal 2008 lalu), yang kalau saya konversikan dengan luas lahan perkebunan setidaknya hanya membutuhkan luas lahan total paling banyak 12.000 – 15.000 ha saja. Jadi kalau saya punya lahan nilam 12.000 – 15.000 ha sudah cukup produksi di pabrik saya saja untuk mencukupi kebutuhan minyak nilam dunia. Hitungan saya tersebut dengan mengasumsikan rendemen minyak nilam rata-rata 2% dan 1 ha lahan akan menghasilkan 8 ton bahan baku kering dlm 1 tahun. Kalau rendemen bisa 16% maka hanya dibutuhkan lahan perkebunan 2000 ha saja. Cukuplah saja 200 orang peserta training masing-masing mengelola lahan nilam 10 ha. Lalu mau dikemanakan minyak nilam yang dihasilkan dari belasan ribu ha lahan yang lainnya? Saat ini akibat oversupply minyak nilam dapat dikatakan harga minyak nilam saja sudah cukup terpuruk.

Yah, silakan berfikir sendiri. Dunia minyak atsiri adalah dunia yang cukup kompleks mulai dari hulu ke hilir, sekompleks komponen-komponen penyusun di dalamnya :)
Good luck untuk semuanya……..

Friday, January 06, 2012

Jenis-jenis minyak atsiri Indonesia (bag. 2)

(lanjutan dari Bag. 1)


11. Calamus Oil (Acorus calamus). Nama Indonesia dari tanaman ini adalah jeringau atau jeringo. Sering tumbuh liar di pinggiran sungai atau di rawa-rawa. Pokoknya di tempat-tempat yang tergenang air. Sepertinya memang di situlah habitatnya. Bagian yang disuling dan diambil minyak atsirinya adalah akar-akar yang merambat sampai mendekati batangnya. Dua tahun lalu saya pernah coba tanam jeringau ini meskipun bukan di lahan yang tergenang air. Hasilnya…..satu tahun kemudian tanamannya tetap segitu-gitu juga alias tidak ada perkembangan…hehe. Konon khabarnya, tanaman ini cukup banyak tumbuh liar di nusantara ini.

12. Camphor Oil (Cinnamomum camphora). Supaya gampang di-Indonesiakan, kita sebut saja “kamper”. Ingat kamper, ingat apa? Pastinya ingat yang namanya kapur barus buat nakut-nakutin kecoa dan serangga lainnya di dalam lemari. Tapi ternyata kamper atau kapur barus bukan dihasilkan dari tamaman ini tetapi dari tanaman Dryobalanops aromatic atau pohon kapur yang merupakan jenis pohon yang berada dalam ambang kepunahan. Nah, kalau kayu kamper yang dikenal sebagai kayu khas Kalimantan memang betul diambil dari tanaman jenis ini. Minyaknya disuling dari kayu yang terlebih dahulu dihancurkan seperti serbuk gergaji. Jika pohon dikatakan kayu khas kalimatan, artinya pohon ini juga banyak tumbuh di hutan-hutan Pulau Borneo ini. Tapi entah nilai ekonominya lebih besar yang mana, dijadikan produk kayu-kayuan atau minyak atsiri. Tentunya membutuhkan analisis dan kajian yang lebih mendalam.

13. Cardamom Oil (Ammomum cardamomum). Orang bilang ini adalah kapulaga, kapulogo, atau lebih singkat lagi…..kapol. Juga sering dikatakan kapulaga lokal dan dalam istilah Inggris sering dikatakan false cardamom. Mengapa disebut lokal, saya juga kurang paham. Mungkin karena yang asli dan sering dibudidayakan di negara ini. Sebenarnya jenis kapol yang memiliki nilai jual tinggi di pasaran internasional adalah kapulaga seberang (Elettaria cardamomum) yang sering disebut juga kapulaga India atau juga true cardamom. Hanya sayangnya yang jenis ini kurang banyak yang membudidayakannya. Untuk jenis ini, saya sering dengar istilah kapulaga hutan yang memiliki cirri-ciri persis dengan kapulaga seberang. Selain aroma yang membedakan keduanya, kapol lokal bentuknya bulat sedangkan kapol seberang berbentuk lonjong. Saya menanam beberapa tetapi masih yang jenis kapol lokal. Aroma minyak atsirinya seperti minyak kayu putih karena kandungan sineol-nya yang cukup tinggi.

14. Carrot Seed Oil (Daucus carota). Ternyata yang namanya wortel ini juga mengandung minyak atsiri, tapi bukan akarnya seperti yang biasa dimakan oleh si Bugs kelinci. Bukan kelinci saja yang suka, tapi juga manusia yang merupakan komposisi sayuran wajib pada aneka jenis sup. Yah…seperti tersurat pada namanya bahwa minyak atsiri dari tanaman ini diambil dari bijinya. Nah lho? Emang wortel ada bijinya ya. Kalau dibiarkan tua, tanaman ini tentunya akan memproduksi biji pada bagian atas daunya. Biasanya wortel dipanen sebelum muncul biji makanya mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati seperti dia atas J Daerah-daerah penghasil sayur-mayur di Indonesia, biasanya tidak lupa juga memproduksi wortel. Tapi memang tidak diambil bijinya, tapi akarnya yang berwarna orange untuk dijadikan konsumsi kita-kita ini. Sebagian dibiarkan menjadi tua hingga muncul biji yang pada akhirnya oleh para petani dijadikan sebagai benih.

15. Cassia Oil (Cinnamomum cassia). Banyak yang mengatakan tanaman ini adalah kayu manis China. Saya belum pernah lihat tanamannya, tapi yakin bahwa kayu manis jenis ini juga terdapat di negara kita dan mudah tumbuh pula. Minyak kayu manis jenis ini merupakan minyak kayu manis yang harganya paling murah di pasaran dunia. Sesuai dengan namanya, produsen terbesar minyak ini adalah China.

16. Celery Oil (Apium graveolens). Tanaman ini banyak diproduksi oleh petani-petani di dataran tinggi sebagai daerah sentra sayur-mayur. Yang hobi ke pasar atau hobi masak pasti tahu dong yang namanya seledri. Biasanya dijual satu paket dengan daun bawang. Minyak seledri ini bukan dihasilkan dari daunnya seperti yang biasa kita konsumsi melalui sayur sup atau kuah basho, melainkan dari bijinya. Meskipun banyak yang membudidayakan namun tidak secara khusus diambil bijinya untuk dijadikan minyak atsiri. Biji seledri pastinya digunakan sebagai benih dan sebagian juga digunakan untuk ramuan obat-obatan herbal.

17. Champaca Oil (Michelia alba). Michelia alba ini bunganya berwarna putih, sedangkan Michelia champaka berwarna kuning. Emang itu bunga apaan, sih? Bunga cempaka, Neng… . Wow, baik nama latin maupun nama Indonesia-nya cukup indah untuk dijadikan nama seorang anak perempuan. Michelia….?? Cempaka….?? Orang Jawa suka bilang bunga kanthil untuk cempaka putih (eiittss…bukan cempaka putih di Jakarta, lho). Nah, kalau orang Aceh suka bilang Bungong Jeumpa (ada lagunya khan?) untuk cempaka kuning. Bunganya bener-bener harum semerbak mewangi ke sekeliling negeri…weww. Di depan kantor saya tumbuh dengan subur pohon cempaka yang apabila sedang berbunga, mmmmhh….harumnya luar biasa sehingga tidak perlu lagi menggunakan pengharum ruangan. Untuk menghasilkan minyak cempaka dengan rendemen tinggi digunakan teknik ekstraksi pelarut dari bunga cempaka segar.

18. Cinnamon Bark Oil (Cinnamomum burmanii). Kabupaten Kerinci – Jambi merupakan sentra kayu manis jenis ini di Indonesia. Katanya sih, 85% produksi kayu manis (kulitnya lho, bukan minyak atsirinya) Indonesia didominasi oleh Kabupaten Kerinci yang memang sejak zaman leluhurnya dahulu kayu manis senantiasa menjadi sandaran perekonomian mereka (informasi ini menurut penduduk lokal di Kerinci saat saya berkunjung ke Kabupaten ini beberapa waktu lalu). Minyak atsirinya diambil dari kulit kayu dari tanaman yang produk rempahnya sering dinamakan “Cassia Vera” ini. Hanya jika ingin menyuling kulit kayu manis dengan rendemen tertinggi dan kualitas minyak terbaik harus menggunakan bahan baku kulit kayu yang tebalnya di atas 4 mm yang berasal dari pohon yang telah berusia di atas 15 atau bahkan 20 tahun.

19. Cinnamon Bark Oil (Cinnamomum zeylanicum). Orang banyak bilang ini jenis kayu manis India atau kayu manis Sri Lanka. Mungkin ini sesuai nama latinnya yaitu zeylanicum yang mungkin diambil dari kata “Ceylon” alias nama Inggrisnya negara Sri Lanka. Tapi….ah, ini sih cuma bisa-bisa saya saja…hehe. Saya pernah melihat tanaman ini di beberapa tempat di Indonesia. Meskipun tidak pasti apakah yang saya lihat itu jenis Zeylanicum atau bukan tetapi yang penting saya mengambil kesimpulan demikian tentunya berdasarkan analisis dan membaca-baca aneka informasi. Orang Jawa bilang tanaman ini adalah “manis jangan” atau Cinnamomum verum. Dari informasi yang saya peroleh Cinnamomum verum masih merupakan sinonim dari Cinnamomum zeylanicum. Jenis minyak kayu manis yang paling tinggi nilainya di pasara dunia adalah jenis Zeylanicum ini. Selain kulit kayunya, daun kayu manis ini pun juga bisa disuling (dan terjual) karena mengandung eugenol dalam jumlah yang tinggi seperti halnya minyak daun cengkeh. Memang dari beberapa pohon yang pernah saya lihat, saya juga cium daunnya (sudah menjadi kebiasaan saya selalu mencium pohon-pohon yang terasa “aneh” bagi saya…hehe) dan terasa kental aroma cengkeh. Fenomena ini cukup berbeda dengan daun kayu manis jenis Burmanii di atas.

20. Cinnamomum parthenoxylon Oil. Minyak ini sepertinya belum ada nama dagang khusus dalam pasaran minyak atsiri dunia. Beberapa nama daerah untuk tanaman ini diantaranya adalah Pakanangi atau Palio (Sulawesi) dan Kayu Selasihan (Jawa). Terkadang minyak ini sering disamakan dengan sassafras oil yang disuling dari tanaman karena secara aroma memang sama akibat kadar senyawa safrol yang tinggi di atas 95%. Padahal juga bukan sassafras oil karena sassafras dihasilkan dari tanaman jenis Sassafras variifolium. Sekitar 2 tahun yang lalu saya pernah nyuling kayu pakanangi ini sewaktu ada tamu yang tiba-tiba datang membawa bahan baku serbuk kayu palio untuk diujicoba suling di ketel percobaan saya. Meskipun demikian, sampai saat ini belum pernah lihat pohonnya seperti apa. Konon kabarnya, memang sudah ada sebuah perusahaan yang menyuling minyak ini di Sulawesi.


(bersambung ke Bag. 3)