Friday, December 30, 2011

Jenis-jenis minyak atsiri Indonesia (bag. 1)

Dear pembaca...
Tulisan ini berawal dari rasa penasaran saya setiap membaca artikel tentang minyak atsiri baik dari para peneliti, pengamat, penulis lepas amatir, maupun jurnalis (dan bahkan pada tulisan saya sendiri) yang selalu mengatakan bahwa "Dari sekitar 250-an (ada juga yang mengatakan 300-an) jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar internasional, Indonesia memiliki potensi sekitar 70-an jenis. Tetapi saat ini yang sudah diproduksi secara komersial baru sekitar 15-an jenis saja". Mmmh....sejak zaman mahasiswa dulu sewaktu pertama kali saya mengenal dan membaca-baca tentang minyak atsiri (pertengahan tahun 2000) sampai dengan kemarin ini, redaksional tersebut tidak pernah berubah. Yang berubah paling juga jumlah minyak atsiri yang telah diproduksi. Kalau dulu pertama kali saya baca artikel-artikel minyak atsiri disebutkan 12 jenis minyak yang sudah diproduksi, tapi saat ini sudah ada penulis yang berani mengatakan 18 jenis. Yah, cukup berbangga dong karena selama 10 tahun ini sudah ada perkembangan ditinjau dari sisi varian minyak atsiri yang diproduksi oleh negara kita.

Well... kembali ke rasa penasaran saya tadi, ya. Woww...70-an jenis?? Apa sajakah itu dan apakah benar memang memiliki potensi untuk dikembangkan di negara kita. Persepsi saya mengenai terminologi "potensi" adalah bahwasannya jenis tanaman ini dapat tumbuh dan mungkin juga sudah ada di negara kita meskipun pengembangan dari aspek agribisnisnya belum maksimal. Pada suatu malam, saya ngoret-ngoret kertas putih. Tetapi bukan menulis puisi/sajak di dalamnya seperti yang biasa saya lakukan sewaktu masih "muda" dulu...hihihi. Kali ini yang saya orat-oret adalah jenis-jenis minyak atsiri yang berpotensi dikembangkan di Indonesia yang konon katanya ada 70-an jenis itu. Yah, saya berfikir dengan membuka telinga, mata, dan hati seluas-luasnya yang tentunya dibatasi oleh pengetahuan/wawasan dan pengalaman saya selama ini. Hasil corat-coret itu (dalam pikiran dan pemahaman saya) berakhir pada poin 85. Artinya, proses membayangkan dalam awang-awang ini menghasilkan 85 jenis minyak atsiri yang "mungkin" berpotensi tadi.

Lalu saya mencoba jelaskan satu-persatu meskipun tidak mendetail. Yang mendetail, mudah2an nanti bisa diimplementasikan dalam sebuah buku besar minyak atsiri yang menjadi salah satu obsesi saya. Tulisan ini saya bagi menjadi beberapa bagian supaya pembaca tidak menjadi bosan. Urutan jenis minyak atsiri yang saya paparkan berdasarkan alfabet (dari A - Z). Berikut ini penjelasannya.

1. Agarwood Oil (Aquilaria malaccensis). Minyak ini sedang ramai diperbincangkan di tanah air karena harganya yang super mahal. Ya gaharu…... jadi ingat peribahasa “sudah gaharu, cendana pula” yang semestinya ditukar “sudah cendana, gaharu pula”. Pohonnya tumbuh liar di hutan-hutan, terutama di Papua dan Kalimantan. Tetapi kini sudah banyak dibudidayakan orang. Dengan melihat situasi pengembangan aspek budidayanya saat ini, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan pasokan minyak ini akan cukup melimpah. Dengan catatan, teknik budidaya untuk menghasilkan kayu gaharu berkualitas dilakukan dengan benar dan juga kehendak alam…hehe.

2. Alpinia Malaccensis Oil. Sesuai dengan namanya, tentunya minyak atsiri jenis ini diambil dari tanaman jenis species Alpinia malaccensis. Saya coba mencari dari berbagai referensi belum menemukan sebutan lain dari minyak ini di dunia perdagangan internasional. Orang Indonesia biasanya menyebutkan Laja Gowa atau lengkuas hutan. Sering dijumpai tumbuh liar di hutan-hutan tropis. Saya sendiri menanamnya satu petak hanya untuk koleksi pribadi dan pernah menyuling rimpang keringnya. Potensi bahan bakunya cukup besar, hanya perlu usaha lebih lanjut memasarkannya terutama untuk pasaran ekspor.

3. Alpinia Purpurata Oil. Orang Indonesia biasanya menyebut tanaman ini honje merah atau kecombrang dan ada pula yang menyebut lengkuas merah, tetapi nama Inggrisnya adalah Red Ginger. Juga banyak dijumpai tumbuh liar di kebun-kebun atau di hutan. Sering dipakai untuk tambahan rasa dan aroma pada sambal di pedesaan. Bunganya cantik, menurut saya cocok untuk tanaman hias…hehe.

4. Amyris oil (Amyris balsamifera). Jenis minyak ini juga sering disebut West Indian Sandalwood Oil. Sebenarnya saya sendiri masih menerka-nerka akan kebenarannya. Ceritanya begini, saya pernah membeli sekitar 250 cc minyak cendana Papua dari seorang rekan, selain untuk koleksi pribadi juga untuk keperluan penjualan retail bagi rekan-rekan yang memerlukannya. Aromanya memang mirip dengan minyak cendana (ex. NTT). Pada waktu itu pikiran saya belum tertuju pada nama Amyris oil, saya hanya menyebutnya sebagai Papua Sandalwood Oil. Seiring dengan berjalannya waktu disertai dengan proses pencarian informasi dan pembelajaran, akhirnya ada sedikit titik terang bahwa minyak cendana Papua ini sesungguhnya dihasilkan dari tanaman yang memiliki nama latin Amyris balsamifera yang dalam dunia perdagangan internasional sering disebut sebagai “Amyris Oil”. Saya sendiri belum pernah melihat bentuk pohonnya secara nyata. Tetapi kawan saya yang lain mengatakan bahwa tanaman ini banyak tumbuh juga di hutan-hutan Papua. Mohon koreksi bagi teman-teman pembaca jika ternyata analisis saya ini keliru dan tentunya disertai dengan penjelasan supaya bisa menambah wawasan juga.

5. Basil Oil (Ocium basilicum). Kadang sering disebut sebagai Sweet Basil Oil yang diambil dari tanaman selasih, salah satu jenis kemangi-kemangian. Saya sering dengar tanaman ini disebut sebagai kemangi Cina. Bukan tipe kemangi yang sering dipakai untuk lalapan. Bunganya berwarna ungu, meskipun ada juga yang berwarna putih. Pernah coba menyulingnya skala percobaan dengan bahan baku yang ditanam di kebun sendiri.

6. Bay Laurel Oil (Laurus nobilis). Pasti baru sadar deh kalau minyak atsiri jenis ini disuling dari daun salam yang biasa kita jumpai di dapur yang dipakai untuk penambah aroma tumis-tumisan. Banyak informasi mengatakan bahwa jenis daun salam yang banyak tumbuh di Indonesia bukanlah jenis Laurus nobilis, tetapi jenis Syzygium polyanthum. Mmmm….tidak masalah juga, bukan tidak mungkin suatu saat bisa kita ciptakan produk minyak atsiri baru berupa Indonesian Bay Leaf Oil :). Pohon salam ini hampir saya lihat setiap hari, mengingat di samping workshop kami (baca = bengkel pembuatan alat penyulingan) tumbuh membubung tinggi dan sering diambil daunnya oleh masyarakat sekitar untuk bumbu dapur yang gratis.

7. Benzoin Oil (Styrax benzoin). Cukup familiar dengan nama kemenyan. Siapa yang tidak tahu tanaman yang kental dengan aroma mistik ini…hehe. Pulau Sumatra adalah salah satu penghasil kemenyan yang cukup penting di dunia. Beberapa penyuling sudah mulai menyuling minyak kemenyan ini. Cukup berbeda dengan jenis minyak atsiri lainnya, minyak kemenyan dihasilkan dari proses penyulingan getah kemenyan kering (gum benzoin). Hati-hati menyuling minyak ini, salah-salah nanti dikira dukun yang sedang praktek…hahaha.

8. Black Pepper Oil (Piper ningrum). Indonesia merupakan salah satu produsen lada yang cukup diperhitungkan di dunia. Lada yang biasa disuling adalah lada hitam alias lada yang masih diselimuti oleh kulitnya. Sedangkan lada putih telah melalui proses pelepasan kulit sebelum dijual ke pasaran. Beberapa waktu yang lalu saya pernah meng-install alat penyulingan lada hitam milik sebuah perusahaan eksportir rempah-rempah.

9. Cajeput Oil (Meulaleca cajeputi). Di negara kita terkenal dengan nama minyak kayu putih. Banyak tumbuh liar di berbagai lokasi di tanah air dan yang paling terkenal adalah minyak kayu putih dari Pulau Buru. Saya sendiri pernah melakukan penyulingan minyak yang kaya senyawa cineole ini di Pulau Sumba-NTT dan Pulau Bangka. Potensi pengembangannya cukup besar baik ditinjau dari sisi bahan baku maupun dari sisi pasar (baik pasar ekspor maupun domestik). Coba bayangkan, ada berapa banyak merk-merk minyak kayu putih dan dan minyak telon yang beredar di pasaran retail saat ini.

10. Cananga Oil (Cananga latifolia). Salah satu jenis minyak atsiri yang sudah diproduksi secara missal di Indonesia di mana produsen utamanya adalah Kab. Blitar – Jatim dan sebagian di Boyolali-Jateng, Jenis yang disuling adalah jenis kenanga hutan yang tumbuh besar membubung tinggi. Bunga segarnya disuling menggunakan teknik penyulingan air (sistem rebus).

(bersambung ke Bag. 2)

Saturday, September 03, 2011

ASPEK TEKNIS PENYULINGAN MINYAK CENGKEH

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Bicara masalah teknis, memulai usaha penyulingan minyak daun cengkeh lumayan ribet. Memang anda tidak perlu susah-susah untuk mempelajari aspek budidaya plus mencoba menanam sendiri pohon cengkehnya. Anda tinggal mencari lokasi dimana terdapat sentra perkebunan cengkeh yang cukup luas tetapi sedapat mungkin belum ada penyuling daun cengkeh di sekitar perkebunan tersebut atau jumlah penyuling yang ada yang jauh dari potensi bahan baku yang ada. Hal ini agar tingkat persaingan untuk mendapatkan bahan bakunya tidak ketat. Sebagai pemula, tentunya anda ingin mendapatkan banyak “kemudahan” bukan?

Yang perlu anda pikirkan dalam hal aspek penyediaan bahan baku adalah menyiapkan jejaring para pengumpul daun cengkeh. Di sini anda membutuhkan beberapa koordinator pengumpul daun cengkeh di setiap titik-titik atau simpul-simpul tertentu. Anda sendiri yang memetakan simpul-simpul tersebut berdasarkan hasil survey lapangan anda. Kadang koordinator ini sering dipanggil “bakul” atau bisa juga bandar. Para bakul ini mengumpulkan daun-daun cengkeh yang sudah diambil oleh para petani atau para pengumpul sampai jumlahnya mencukupi untuk dibawa atau dijual ke pabrik penyulingan anda. Para pengumpul daun cengkeh ini biasanya akan meletakkan hasil kumpulannya di pinggir-pinggir jalan setelah dimasukkan ke dalam karung. Sementara Sang bakul akan keliling mengambil karung-karung tersebut menggunakan kendaraan angkut. O ya, anda harus bersiap-siap menyediakan ratusan karung untuk penampungan daun cengkeh. Karung ini dapat dipakai kembali dan selayaknya diberi tanda agar mudah terlacak apabila terselip ataupun raib.

Bakul ini bisa jadi anda yang memodali untuk keperluan pembelian bahan baku. Harapannya sih dia memiliki modal sendiri untuk menghindari resiko kehilangan uang anda dan terpakai untuk keperluan lain yang tidak sesuai dengan kepentingan anda, tetapi agaknya masih cukup sulit. Yah, berhati-hatilah saja dan pastikan anda mengenali dengan baik karakter bakul-bakul yang anda tunjuk dan membimbingnya ke jalan yang benar…hehe.

Untuk lokasi penyulingan, sebaiknya anda mencari lokasi yang tersedia cukup sumber air mengalir. Ingat!! Keberadan air ini CUKUP PENTING. Air mengalir ini tidak perlu bersih dan bening seperti air PDAM, yang penting cukup tersedia terutama untuk proses pendinginan. Jika tersedia air mengalir dengan cukup, maka besaran investasi yang akan anda keluarkan lebih kecil karena tidak perlu membuat kolam-kolam besar untuk sirkulasi air pendinginnya. Juga harus diperhatikan bahwa pabrik penyulingan tidak terlalu dengan pemukiman penduduk. Pabrik penyulingan cengkeh sangat berpotensi menimbulkan polusi udara dalam bentuk asap pembakaran. Jangan sampai deh nanti dikomplain atau didemo masyarakat sekitar gara-gara asapnya itu mengganggu aktivitas mereka. Juga perlu diperhatikan penanganan limbah kondensat minyak cengkeh. Sebaiknya tidak langsung dibuang ke sungai karena sifat minyak cengkeh yang keras dan bisa membuat ikan-ikan yang hidup di sungai tersebut terkapar dan tewas. Apalagi jika sungai tersebut digunakan juga untuk aktivitas sehari-hari masyarakat sekitar. Langkah terbaik adalah limbah-limbah kondensat ini dirancang sedemikian rupa agar bisa digunakan kembali untuk mengisi air ketel suling sehingga tidak akan ada yang terbuang menjadi limbah.

Berikutnya kita bicarakan masalah fasilitas produksi. Fasilitas-fasilitas produksi utama dalam menyelenggarakan penyulingan minyak daun/gagang cengkeh adalah sebagai berikut :

  1. Ketel penyulingan dan segala perlengkapannya. Termasuk di dalamnya adalah ketel suling itu sendiri, kondensor/pendingin, sistem pemisahan minyak dan air, serta sistem perpipaan. Ketel ini bisa terbuat dari stainless steel atau dari carbon steel (besi biasa). Untuk produksi minyak cengkeh, sudah cukup digunakan penyulingan sistem kukus alias satu ketel untuk air dan bahan baku. Kebanyakan cukup menggunakan carbon steel supaya harga belinya jauh lebih murah. Jika menggunakan carbon steel, warnanya minyak hitam pekat. Tetapi tidak menjadi masalah karena untuk minyak cengkeh yang dilihat kebanyakan bukan masalah warna tetapi kadar eugenol dari minyak cengkeh yang dihasilkan. Sedangkan pada ketel suling stainless steel, anda akan memperoleh minyak cengkeh berwarna kuning bening. Jika anda tidak mendapatkan pembeli khusus untuk minyak cengkeh kuning bening ini dengan harga yang special pula, maka tentunya harga jualnya akan sama dengan minyak cengkeh hitam untuk kadar eugenol yang standar. Dengan pertimbangan nilai keekonomian, kapasitas minimum penyulingan minyak daun cengkeh biasanya sekitar 500-600 kg bahan baku per batch penyulingan. Ada yang menyuling pada kapasitas 800 kg, 1000 kg, atau 1200 kg. Besaran kapasitas ini juga disesuaikan dengan bugjet investasi yang anda miliki, juga tentunya dengan potensi bahan baku di sekitar calon lokasi penyulingan anda.
  2. Bangunan pabrik. Bangunan ini sederhana saja alias semi permanen untuk meminimalisir jumlah investasi yang anda keluarkan. Yang penting memberikan kenyamanan bagi anda dan bagi pegawai anda. Pada bagian ketelnya dibuatkan panggung dengan ketinggian sekitar 30-50 cm dari bibir ketel untuk memudahkan proses pemasukan (loading) dan pengeluaran (unloading) bahan baku. Cukup bangunan yang terbuat dari kayu atau bisa juga dari bambu. Yah, pokoknya sesuai selera dan budjet anda, deh. Untuk kapasitas penyulingan sekitar 1000 kg, setidaknya dibutuhkan lahan sekitar 100-150 m2 termasuk untuk keperluan gudang menyimpanan bahan baku.
  3. Tungku pembakaran. Bahan bakar yang digunakan untuk sumber energi penyulingan minyak cengkeh adalah kayu bakar dan utamanya adalah ampas daun cengkeh yang sudah disuling. Kadang malah ada yang memakai karet ban bekas, namun untuk ini saya tidak rekomendasikan. Oleh sebab itu dibutuhkan dapur pembakaran yang representatif agar pembakaran bisa berlangsung dengan baik dan mendekati sempurna. Karena salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap jumlah minyak yang dihasilkan adalah PEMBAKARAN dan konstruksi pipa-pipa api di dasar ketel sulingnya. Tungku pembakaran terbuat dari batubata merah, semen, dan pasir. Tidak perlu sampai menggunakan bata api (fire/refractory brick) karena biaya pembuatan tungku tentunya akan sangat mahal.
  4. Kolam pendingin. Berfungsi untuk menyelenggarakan proses pendinginan/pengembunan atau merubah uap air+minyak menjadi cairan. Jika tersedia sumber air mengalir dengan cukup, ukuran kolam pendingin ini bisa saja kecil alias disesuaikan dengan ukuran kondensornya. Hati-hati dalam membuat kolam pendingin ini. Gunakan tenaga tukang yang sudah berpengalaman membuat kolam supaya kola mini tidak jebol di tengah jalan karena kurang kuat menahan beban air. Banyak kejadian-kejadian seperti ini ketika saya melakukan ujicoba penyulingan di beberapa daerah.

Sedangkan fasilitas-fasilitas produksi pendukung ini diantaranya adalah :

1. Timbangan bahan baku. Dapat berupa timbangan duduk seperti yang biasa dipakai untuk menimbang beras. Bisa juga timbangan gantung seperti yang biasa dipakai untuk menimbang ikan. Sementara untuk timbangan minyak, anda bisa memakai kedua jenis timbangan di atas. Minyak cengkeh tergolong minyak atsiri berharga murah, sehingga toleransi kesalahan penimbangan sampai dengan 1-2 ons masih dapat dipertimbangkan. Tetapi jika tersedia modal cukup, anda bisa membeli timbangan duduk digital dengan ketelitian yang bagus dan tentunya harganya lebih mahal.

2. Penampung minyak hasil sulingan. Dapat berupa derigen-derigen HPDE 30 liter (apa itu HDPE?) yang biasanya berwarna biru atau abu-abu. Bisa juga berupa drum-drum HDPE bervolume 200 liter. Jumlah penampung ini tentunya disesuaikan dengan kapasitas produksi minyak anda atau perkiraan stok hasil sulingan sebelum dijual. Penampung minyak ini bisa dipakai kembali, istilahnya re-use.

3. Corong dan penyaring minyak. Bisa digunakan corong plastik yang berukuran jumbo dimana bagian atasnya diletakkan kain penyaring minyak yang biasa disebut kain monel. Kain monel ini bisa yang berukuran 180 atau 200. Fungsinya untuk menyaring minyak dari kotoran-kotoran sekaligus menyaring minyak cengkeh dari air yang masih terikut. Minyak cengkeh akan lolos sedangkan airnya tertahan di atas permukaan kain. Harga kain ini yang bagus (buatan Eropa) sekitar Rp 400.000,- per meter yang bisa dibagi 4 atau 6. Sedangkan yang murah tidak sampai Rp 200.000,- per meter. Bisa dipakai berulang kali sampai kemampuan penyaringannya tidak efektif lagi. O ya, kain monel dapat dibeli di toko-toko penyedia perlengkapan sablon. Juga lengkapi dengan beberapa perlengkapan kecil seperti sendok sayur stainless dan ember-ember kecil.

4. Alat analisis sederhana. Sebenarnya hal ini tidak mutlak diperlukan jika anda mempunyai pembeli minyak cengkeh yang kredibel dan punya integritas artinya anda tidak takut dibohongi perihal kualitas minyak yang anda hasilkan. Alat ini berupa hidrometer dengan rentang skala 1,000 s/d 1,100. Alat ini berfungsi untuk memperkirakan sejauh mana kualitas minyak cengkeh yang anda hasilkan. (Baca kembali artikel ini : http://ferry-atsiri.blogspot.com/2011/05/prediksi-kadar-eugenol-pada-minyak-daun.html). Dapat dibeli di toko-toko perlengkapan laboratorium. Harga juga cukup murah. Yang buatan Eropa paling mahal Rp 200.000,- sedangkan yang buatan China harganya bisa jauh lebih murah. Jangan lupa lengkapi juga dengan gelas ukur volume 100 ml atau 250 ml sebagai media penuangan minyak saat akan diukur hidro-nya.

5. Peralatan bengkel sederhana. Contohnya adalah kunci Inggris, kunci pipa, kunci-kunci pas, tang, gergaji besi, dll. Peralatan ini berfungsi untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan masalah-masalah kecil pada ketel penyulingan anda yang bisa anda tangani sendiri pada keadaan urgent.

6. Sekop, capit, garpu, dll. Alat-alat ini diperlukan untuk penanganan daun cengkeh, baik pada saat pemasukan bahan baku, pengeluaran bahan baku, maupun memasukkan ampas daun cengkeh dalam tungku pembakaran untuk dibakar sebagai sumber energi.

Mmmh….penjelasan mengenai aspek teknis berwirausaha penyulingan minyak cengkeh sepertinya saya cukupkan di sini. Jika masih banyak yang belum jelas, silakan kita diskusikan. Atau jika ada rekan-rekan yang ingin memberikan masukan berdasarkan pengalaman-pengalaman teknisnya, sangat saya persilakan supaya kita bisa sharing ramai-ramai di sini.

BERAMAI-RAMAI MENYULING DAUN CENGKEH

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Kembali menulis di blog ini setelah sekian lama absen karena berbagai kesibukan (juga bisa sedikit bernafas setelah sibuk memikirkan THR bagi para pegawai…hehe).

Minyak daun cengkeh menjadi sebuah trend dalam dunia minyak atsiri akhir-akhir ini, setidaknya mulai awal tahun 2011 sampai saat ini. Sebelum tahun 2011, produksi minyak daun cengkeh hanya terkonsentrasi besar-besaran di Pulau Jawa. Padahal jika ditilik dari data luas perkebunan cengkeh di Indonesia, Pulau Jawa hanya berkontribusi sekitar 32% saja dengan total luas lahan 140.000 ha (kata Data Statistik Perkebunan Indonesia). Di luar Pulau Jawa bukannya tidak ada yang mengolah minyak atsiri dari daun gugur pohon cengkeh ini. Menurut pengamatan saya pabrik penyulingan ada, tetapi persentasenya jauh lebih kecil daripada potensi bahan baku yang ada. Bahkan kala itu, gagang/tangkai/pangkang cengkeh pun masih dianggap sebelah mata oleh para petani cengkeh di luar Jawa. Mereka hanya berkonsentrasi pada produksi bunga cengkeh saja (rempah) untuk keperluan pabrik rokok dan tangkainya dianggap sebagai limbah yang dionggokkan begitu saja. Mereka tak pedulikan akan potensi rupiah dari pengolahan limbah-limbah perkebunan cengkeh menjadi minyak atsiri yang cukup kaya akan eugenol ini.

Time has passed by, yang terjadi kini bukan seperti tahun-tahun sebelumnya. Gerangan apa yang menjadi pemicunya? Sebelumnya saya mau cerita pengalaman-pengalaman masa lalu yang tentunya masih dapat disimak via tulisan di blog ini beberapa tahun yang lampau. Pertama kali saya bergelut dengan minyak daun cengkeh ini pada tahun 2006. Mmmm…..masih terhitung junior lah karena saya punya teman-teman yang sudah menyuling daun cengkeh mulai tahun 1970-an atau 1980-an (menurut pengakuan mereka). Pada waktu itu harga bahan baku daun cengkeh yang saya beli di pengumpul daun “hanya” sebesar Rp 250,- s/d Rp 350,- per kg dengan harga beli minyak daun cengkehnya hanya sekitar Rp 35.000,- s.d Rp 38.000,-. Sementara harga gagang/tangkai cengkeh paling tinggi hanya Rp 1.000,-/kg dengan harga minyak gagang cengkeh pada waktu itu sekitar Rp 42.000,-/kg. Mudah-mudahan saya tidak lupa…hehe.

Pada tahun-tahun berikutnya, harga minyak cengkeh ini menunjukkan trend yang menanjak meski iramanya gradual. Harga minyak cengkeh ini cukup lama stabil di level sekitar Rp 55.000,- s/d Rp 60.000,-/kg untuk minyak daun cengkeh dan Rp 60.000,- s/d Rp 65.000,- untuk minyak gagang cengkeh. Level harga ini berlangsung sampai sekitar akhir kuartal kedua tahun 2010. (Wowww….kuartal-kuartal segala, kayak mau nyusun anggaran pemerintah saja…hehe). Dengan harga minyak sebesar itu, harga bahan baku daun cengkeh berada pada kisaran Rp 400,- s/d Rp 800,- per kg dan harga gagang cengkeh berada di kisaran Rp 1.700,- s.d Rp 2.500,- per kg. PERLU DIKETAHUI bahwa tingkatan harga bahan baku ini tidak bisa dipukul rata dari waktu ke waktu atau dari daerah ke daerah. Harga bahan baku pada musim penghujan tentunya berbeda dengan harga pada waktu musim kemarau. Harga bahan baku di daerah yang tingkat persaingannya (untuk mendapat bahan baku) rendah tentunya berbeda dengan daerah yang tingkat persaingannya cukup tinggi. Bahkan saya pernah menjumpai beberapa wilayah kecamatan dimana terdapat lebih dari 10 pabrik penyulingan (bahkan ada yang sampai 20 unit) dalam lingkup kecamatan tersebut. Harga bahan baku yang “berat” – maksudnya saat disapu dari bawah pohon cengkeh, banyak sekali jumlah material-material asing seperti batu, kerikil, ranting-ranting pohon, tanah, daun-daun non cengkeh, bahkan sandal jepit…hehe, sehingga mempengaruhi bobot “bahan baku”- tentunya berbeda dengan harga bahan baku yang betul-betul murni daun cengkeh yang masih “kinclong”.

So….bagi para pemula yang bermain di penyulingan minyak cengkeh harus banyak belajar dahulu tentang strategi pemasokan bahan baku ini. Kejeblos sekali dua kali tidak masalah, yang penting jadikan sebuah evaluasi untuk kebaikan di masa-masa yang akan datang.

Kembali ke cerita masa lalu, ya. Dengan harga bahan baku minyak cengkeh sebesar itu, ternyata masih belum membuat para petani cengkeh di luar Pulau Jawa untuk bergerak angkat senjata (uppss…maksudnya angkat sapu lidi..;p) mengumpulkan daun cengkeh atau bahkan mengumpulkan gagang cengkeh dan mengeringkannya untuk kemudian disuling atau dijual ke pabrik penyulingan. Mereka belum cukup merasa tertarik dengan harga yang ditawarkan. Istilahnya “ngapain capek-capek ngumpulin daun cuma dihargai segitu, toh dari panen bunganya saja gw bisa memenuhi kebutuhan gw sampai satu tahun”. Mmmm…. It’s OK, setiap manusia tentunya punya standar masing-masing baik standar value maupun standar pemikiran. Tentunya kita tidak perlu banyak berdebat pada masalah ini dan wajib menghargainya. Selain si “standar” ini yang dijadikan kambing hitam, ketidaktahuan para petani akan potensi limbah perkebunan cengkeh ini akibat minimnya sosialisasi dan akses informasi menurut saya juga layak untuk dikedepankan.

Nah, setelah harga minyak cengkeh cukup stabil di level yang telah saya sebutkan di atas, eh…ternyata harga minyak cengkeh semakin terdongkrak bahkan cenderung tak terkendali hingga menembus angka Rp 170.000,- per kg bahkan ada juga yang mengatakan sampai Rp 180.000,- per kg. Meskipun sempat terjun kembali sampai Rp 105.000,- s/d Rp 110.000,- per kg, harga ini terdongkrak kembali sedikit demi sedikit dan sampai tulisan ini diturunkan harga minyak daun cengkeh berkisar Rp 140.000,- s.d Rp 145.000,- per kg. Mmmhh… ..menarik bukan??

Terus apa pemicunya, Fer? Harga minyak naik, ya tentunya harga pembelian bahan baku juga turut terdongkrak sampai dengan harga yang diidealkan oleh para petani atau pengumpul daun. Bahkan para penyuling daun cengkeh di Pulau Jawa beramai-ramai meng”impor” bahan baku daun cengkeh dari luar Jawa. Pertimbangan biaya transportasi menjadi lebih hal yang lebih leluasa diatur-atur untuk tingkatan harga minyak yang bisa dikatakan “baik” ini. Faktor lain yang menjadi pemicunya adalah bahwa tahun ini kebun-kebun cengkeh tidak berbunga dan ini terjadi secara merata di seluruh bumi nusantara. Alhasil, orang mulai berfikir apa kiranya yang masih bisa dijadikan rupiah dari pohon cengkeh ini. Jika tidak berbunga, maka otomatis para petani menjadi tidak berpenghasilan. Inilah sebabnya juga saat ini harga bunga cengkeh juga meroket tak terkendali sampai harga Rp 250.000,- per kg.

Well, saat ini di beberapa daerah harga daun cengkeh cukup tinggi. Terutama daerah-dearah yang tingkat persaingannya cukup ketat. Harga daun bisa mencapai Rp 2.500,- s/d Rp 3.000,- per kg untuk daun yang kualitasnya baik. Misalnya daun-daun cengkeh yang dipungut dengan ditusuk-tusuk menggunakan sekitar lidi sehingga material-material asingnya tidak ikut terambil. Biasanya untuk jenis bahan ini pada musim kemarau bisa menghasilkan rendemen di atas 2,5%. Mmmm…tunggu dulu ya, rendemen ini juga tidak bisa disamaratakan lho. Ada beberapa daerah yang meskipun daunnya bagus tetapi rendemennya tetap di bawah 2%. Sedangkan untuk daerah-daerah yang masih leluasa dalam pengambilan bahan baku, harganya berada pada kisaran Rp 1.300,- s.d Rp 1.700,- per kg.

Bro, kita itung-itungan, yuk. Misalnya anda membeli alat suling daun cengkeh kapasitas 1000 kg daun cengkeh per batch suling. Jika harga bahan baku (misalnya kita ambil dari pengunpul Rp 1.500,- per kg – dan ini diambil dari daerah baru artinya sebelumnya belum dikenal penyulingan minyak cengkeh sehingga tingkat persaingannya masih rendah), maka biaya pembelian bahan baku Rp 1.500.000,-. Jika diasumsikan bahan baku baik dan bisa menghasilkan rendemen 2% saja yang ekivalen dengan 20 kg minyak, maka akan diperoleh pendapatan Rp 2.800.000,- (asumsi harga minyak daun cengkeh Rp 140.000,- per kg). Biaya tenaga kerja per batch penyulingan kita asumsikan Rp 100.000,-. Woww…berarti keuntungan bersih per sekali penyulingan Rp 1.200.000,-. Jika bahan baku cukup berlimpah, rata-rata penyuling bisa memaksimalkan penggunaan ketel hingga 2 x per hari (24 jam), maka akan diperoleh penghasilan bersih Rp 2.400.000,- per 24 jam. Andaikan 1 bulan beroperasi 25 hari, maka perdapatan bersihnya bisa sekitar Rp 60.000.000,-. Dengan biaya lain-lain kita anggap Rp 5.000.000,- maka pendapatan bersih mencapai Rp 55.000.000,- per bulan. Hayooo….jangan bayangin yang macam-macam, deh…hehe. Milih mana, jadi anggota DPR/Menteri atau jadi penyuling daun cengkeh…:) :). Mmmm...jadi teringat ucapan seorang rekan yang akhirnya memilih menjadi seorang penyuling di Bali...hehe.

O ya, kok ngga ada operasional untuk bahan bakarnya, Fer? Yuppsss…menyuling daun cengkeh bisa dikatakan bebas bahan bakar. Eh, maksudnya bebas BIAYA bahan bakar. Bahan bakar yang dibeli (ex : kayu bakar) dipakai hanya untuk memulai penyulingan pertama saja, sedangkan untuk batch penyulingan berikutnya cukup menggunakan ampas daun cengkeh yang dihasilkan dari penyulingan sebelumnya. Kalaupun digunakan kayu bakar jumlahnya relatif sedikit hanya untuk pemancing api. So….ngga perlu takut untuk biaya energi khan?

Membuat tulisan dalam blog minyak atsiri yang di-hit lebih dari 150 per hari (cieeeee….narsis dikit, ah. cukup lumayan untuk sebuah blog yang sangat segmented) saya tidak ingin dituduh menggiring opini publik minyak atsiri pada hal-hal yang bersifat “angin firdaus”. Memang sepintas kalau lihat hitung-hitungan di atas, angkanya cukup menakjubkan meskipun untuk menyaingi kekayaan Gayus Tambunan setidaknya membutuhkan waktu 100 tahun lagi…hehe. (Coba hitung sendiri, deh kalau nggak percaya). Angka di atas memang benar adanya dan saya tidak sedang mengajak para pembaca untuk bermimpi di pagi hari. (Bosen kalau saya pakai kata-kata “bermimpi di siang bolong”). Akan tetapi, ada banyak hal yang mengintai di belakang anda. Hantukah? Bisa ya, bisa pula tidak.

1. Anda harus menjamin ketersedian bahan baku di lapangan. Jika sehari membutuhkan 2 ton bahan baku daun cengkeh gugur dan 1 bulan beroperasi 25 hari, maka tentunya dibutuhkan 50 ton daun cengkeh per bulan. Bagaimana strategi pengumpulan bahan baku sebanyak itu? Ingat, banyak sekali lho kendala teknis yang terjadi di lapangan. Mulai dari tipu-menipu, hingga sikut-menyikut. Tapi jika anda bisa menerapkan supply chain management yang baik, pastinya kendala-kendala tersebut lambat laun bisa teratasi.

2. Saat anda beroperasi sendirian di sebuah wilayah tertentu, mungkin tidak banyak timbul friksi karena persaingan relatif tidak ada. Tapi namanya watak orang tiada yang bisa kita prediksikan sebelumnya, ada saja yang iri dan dengki pada keberhasilan orang lain dan mencoba untuk “mengganggu”nya dengan berbagai cara. Atau bisa juga ada orang lain yang ikut-ikutan mendirikan pabrik penyulingan di sekitar lokasi anda. Baik orang asli pribumi, atau orang luar, atau orang luar yang menggunakan tangan-tangan pribumi. Alhasil muncullah pesaing yang pastinya dapat merubah peta pasokan bahan baku anda dan membuat anda hsrus berfikir ekstra keras untuk lebih kreatif. Era informasi seperti sekarang sangat mudah untuk mengakses pengetahuan dan wawasan. Anda tinggal ketik keyword “penyulingan minyak cengkeh” di Kang Mas Google, maka tulisan-tulisan saya maupun orang lain tentang minyak cengkeh sekejab saja sudah tercetak di sanubari si pencari informasi.

3. Hei….harga minyak atsiri itu cukup dinamis, lho. Demikian juga halnya dengan minyak cengkeh. Tentunya kita harus bisa menyiapkan aneka strategi dan jurus-jurus antisipasi akan merosotnya harga jual minyak cengkeh supaya usaha penyulingan tidak lantas menjadi mandeg. Apalagi jika semakin banyak orang menyuling cengkeh pada musim kemarau dimana pohon cengkeh sedang “berbaik hati” menggugurkan daun sebanyak-sebanyaknya. Sayangnya, saya masih terlalu “hijau” untuk bisa memprediksi dengan tepat kapan harga akan naik dan kapan harga akan turun. Saya hanya punya prediksi untuk diri saya sendiri karena analisis ini tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah - hanya menggunakan metode pendekatan analisis terka-menerka saja - untuk bisa di-share ke para pembaca. Nanti kalau prediksinya salah, jadi malu sendiri sama pembaca…hehe. Nggak mau sok tahu, ah…

Saya ingin menambahkan sesuatu pada tulisan saya ini yang dikutif dari percakapan saya dengan seseorang yang saya anggap memahami alur-alur pedagangan minyak cengkeh terutama yang berkaitan dengan harga minyak cengkeh yang melambung ini. Berikut pandangan beliau:

"Kelayakan penyulingan harus memperhitungkan rentang harga 5 tahun terakhir...(coba cek datanya)...perkembangan harga komoditas lain dan inflasi. Menurut saya (tidak ada ramalan yang benar 100pct), harga saat ini terlalu "panas", pasti akan turun. Mengapa banyak orang tertarik? Karena ada disparitas antara COGS dan harga jual yang cukup lebar. Kalau dengan harga 70ribu masih bisa kerja, silahkan teruskan proyeknya...Perhitungkan kerapatan antar lokasi penyulingan supaya daun tidak jadi rebutan...Musim kemarau ini sangat kering shg rendemen bagus...mestinya dg harga 70rb pun masih untung (tergantung harga daun)".

"faktor2 yg mempengaruhi tingginya harga minyak cengkeh saat ini: musim hujan sepanjang tahun th lalu (tidak ada bulan kering)...kecilnya panen cengkeh th ini (gagang mahal)...namun semuanya itu hanya "sementara"...sampai kapan...entah, mungkin bulan depan sudah mulai turun, mungkin bulan ini...tapi paling lambat (menurut saya) tahun depan."

Yummyy..... silakan berfikir dan bermimpi akan hari esok yang lebih baik. Masih bingung, silakan bertanya daripada sesat di jalan.

Friday, July 15, 2011

Study Tour IFEAT di CV. Pavettia Kurnia Atsiri - Subang

Pada tanggal 7 Juli 2011, CV. Pavettia Kurnia Atsiri - Subang mendapatkan kehormatan menjadi salah satu venue minyak atsiri yang dikunjungi pada salah satu rangkaian acara IFEAT Study Tour 2011 (3-10 Juli 2011) dimana pada tahun ini Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah melalui DAI (Dewan Atsiri Indonesia) sebadai panitianya.

Mungkin ada baiknya saya sedikit menjelaskan apa itu IFEAT agar teman-teman pembaca yang awam paling tidak bisa mendapatkan sedikit wawasan. IFEAT kepanjangan dari The International Federation of Essential Oils and Aroma Trades. Mmmm.... dari singkatannya saja, pastinya sudah tahu khan IFEAT itu organisasi tentang apa dan levelnya bagaimana. Ya, pastinya minyak atsiri di level dunia...hehe. Di blog ini ya nggak mungkin saya bicara tentang organisasi politik...:). FYI, ini webnya IFEAT : http://www.ifeat.org

Saya sendiri belum pernah terlibat pada kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh IFEAT. Maklum, kita ini masih penyuling gurem yang cukup tahu diri bahwa saat ini belum waktunya untuk bergerak ke sana yang tentunya dengan berbagai macam pertimbangan. Tapi, tetap optimis dong suatu saat harus mengarah ke sana juga. Saya sendiri hanya tahu IFEAT dari membaca-baca web-nya atau ngobrol-ngobrol dengan teman-teman eksportir (atau pegawainya) yang kebetulan sering bersinggungan dengan organisasi ini. Setiap tahun IFEAT menyelenggarakan sebuah kegiatan besar berupa CONFERENCE yang biasanya dihadiri oleh perwakilan institusi-institusi yang bergerak di bidang minyak atsiri di seluruh dunia baik itu berupa perusahaan, institusi riset, perguruan tinggi, maupun pemerintahan. Tuan rumah penyelenggaraan conference berbeda-beda setiap tahunnya dimana tahun 2011 ini akan diselenggarakan di Barcelona, Spanyol pada tanggal 6-10 November 2011. Sebenarnya siapapun yang tertarik untuk mengikuti IFEAT Conference ini bisa mendaftar untuk menjadi peserta, tapi nggak gratis..hehe. Kalau mau bayar sekitar 1500 Euro , tentunya boleh dong ikutan :p

Nah, selain conference IFEAT juga punya kegiatan tahunan yaitu Study Tour dimana tuan rumahnya juga negera yang berbeda-beda. Tahun 2011 ini kebetulan Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah melalui DAI. Bicara Study Tour....mmmm..jadi ingat waktu zaman SD - SMA dulu. Namanya Study Tour pasti jalan-jalan, dong. Tapi jalan-jalan sambil belajar dan menimba ilmu. Kalau waktu sekolah dulu, sasaran Study Tour biasanya adalah museum, tempat bersejarah, atau cagar budaya. Tentunya IFEAT Study Tour yang dikunjungi adalah tempat-tempat yang beraroma minyak atsiri...hehe.

Peserta Study Tour ini dibatasi sebanyak 40 orang dengan biaya pendaftaran US$ 3000 per orang dan dari jauh-jauh hari sudah fullbooked. 40 orang peserta itu terdistribusi dari 17 negara dengan perincian; 1 Belgia, 1 Brazil, 1 Kanada, 5 China, 1 Kolombia, 1 Mesir, 1 Jerman, 1 Haiti, 1 Hungaria, 7 India, 1 Indonesia, 1 Irlandia, 2 Singapura, 1 Sri Lanka, 3 Swiss, 3 Inggris, dan 9 Amerika Serikat.

IFEAT Study Tour tahun 2011 di Indonesia melibatkan kunjungan k
e 13 lokasi yang berhubungan dengan minyak atsiri, baik perkebunan, pembibitan, pabrik penyulingan skala IKM, pabrik turunan minyak atsiri, dan fasilitas2 milik eksportir lainnya. Kalau boleh saya sebutkan satu-persatu adalah; perkebunan dan penyulingan milik PT. Djasula Wangi di Sukabumi, perkebunan pala milik Balitro di Bogor, Penyulingan pala di Bogor, Penyulingan akar wangi di Garut, Fasilitas pembibitan kultur jaringan milik Dafa Teknoagro Mandiri di Bogor, Pabrik PT. Indesso Aroma di Bogor, Pabrik PT. Van Aroma di Bogor, Penyulingan milik CV. Pavettia Kurnia Atsiri di Subang, Pabrik PT. Haldin Pacific Semesta di Cikarang, Perkebunan dan penyulingan minyak nilam di Malang, Perkebunan dan Penyulingan minyak cengkeh di Malang, Penyulingan minyak kenanga di Blitar, Perkebunan dan penyulingan minyak jeruk purut di Tulungagung.

Khusus kunjungan ke CV. Pavetia Kurnia Atsiri, berikut sekelumit kisahnya melalui gambar :)


OK deh... Yuk rame-rame ke Spanyol tahun ini. Siapin duit sekitar 1500 Euro + biaya tiket Jkt-Barcelona PP dan akomodasi selama 4 hari + tiket masuk ke Stadion Camp Nou nonton aksi Lionel Messi di FC Barcelona...:) Tanggung kalau sudah sampai Barcelona nggak nonton bola...haha.
<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4