“Pak, saya mau tanya harga alat penyulingan minyak atsiri yang kapasitas
kecil saja?”
Kapasitas kecil??
Kadang aku agak bingung dengan terminologi ini. Karena pastinya aku
membutuhkan banyak penjelasan dari si penanya berkaitan dengan “kapasitas
kecil” ini. Dalam jagad minyak atsiri yang terdiri atas beragam komoditi,
“kapasitas kecil” adalah hal yang absurb dan penuh dengan relativitas.
“Bahan bakunya apa yang akan disuling?”
“Apakah hanya untuk sekedar coba-coba (baca=percobaan atau
penelitian)?”
“Apakah alat ini akan digunakan untuk melakukan kegiatan usaha/komersil?”
“Apakah nanti hasil minyaknya akan dipakai untuk konsumsi sendiri?”
“Jika untuk keperluan komersil, apakah minyak atsirinya akan dijual
secara retail?”
Kalau dipikir-pikir, sebagai produsen alat-alat penyulingan aku tidak
perlu tahu semuanya itu. Itu adalah urusan yang bersangkutan akan dipakai untuk
apa. Langsung saja diberikan spesifikasi dan harga. Yang penting mereka pesan
alat, ada order masuk, kerjakan, beres, dan pastinya dapat margin.
Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Sebagai seseorang yang bergelut di bidang minyak atsiri selama
10 tahun ini, ada sebentuk tanggung jawab moral untuk menginformasikan yang
sejelas-jelasnya kepada calon konsumen. Apalagi calon konsumen tersebut adalah pemula atau seseorang yang baru ingin
masuk ke dunia usaha minyak atsiri.
Ketika pertanyaan-pertanyaan di atas aku sampaikan kepada si pemesan
dan mereka menjawab bahwa alat ini nanti akan digunakan untuk melakukan
percobaan/penelitian. Atau mereka membutuhkan aneka jenis minyak-minyak atsiri
dalam jumlah yang sedikit untuk keperluan mereka sendiri. Atau mereka ingin
memproduksi minyak atsiri sedikit-sedikit untuk dikemas dan dijual secara
retail. Ya sudah, case closed. Langsung saja diberikan harga ataupun
spesifikasi untuk dipelajari lebih lanjut.
Tetapi jika jawabannya untuk keperluan komersial/usaha, proses tanya
jawab akan berlanjut.
Ada beberapa pertimbangan bagi mereka untuk berkata “kapasitas kecil”.
Mulai dari budjet yang terbatas tetapi ingin segera memulai berbisnis minyak
atsiri, atau ingin dilakukan di sekitar rumah saja sebagai usaha sampingan,
atau ingin coba-coba dulu sebelum memperbesar kapasitasnya, atau kemampuan
untuk mendapatkan bahan baku. Tentunya semua pertimbangan tersebut adalah
sah-sah saja dan dapat dimaklumi.
Bahan bakunya apa??
Bahan baku adalah hal utama yang harus diperhatikan. Setiap jenis
minyak atsiri memiliki nilai ekonomi yang berbeda-beda. Kalau sudah bicara
ekonomi, tentunya disana kita juga akan bicara masalah harga jual minyak, harga
beli bahan baku, serta rendemen minyaknya. Tiga aspek itu yang perlu diketahui,
setidaknya sebagai perhitungan awal mendapatkan nilai GPM (Gross Profit Margin)
sebelum menghitung analisis keekonomian secara menyeluruh.
Aku akan bandingkan nilai keekonomian dari 4 jenis minyak atsiri yang
umum apabila diolah pada kapasitas kecil. Kapasitas kecil yang dimaksud di sini
adalah kapasitas olah bahan baku terkecil menurut asumsi aku sendiri.
Pengolahan minyak pala kapasitas 50 kg.
Asumsi = harga bahan baku Rp 100.000,-/kg, harga jual minyak kualitas
bagus Rp 1.100.000,-/kg (Juni 2014), dan rendemen 11%.
Dengan asumsi di atas, anda membutuhkan modal pembelian bahan baku = Rp
100.000,- x 50 kg = Rp 5.000.000,-. Dengan rendemen 11%, artinya setiap
menyuling 50 kg bahan baku akan diperoleh 5,5 kg minyak pala yang ekivalen
dengan nilai Rp Rp 6.050.000,-. Sehingga Margin Keuntungan Kotor nya = Rp
6.050.000,- - Rp 5.000.000,- = Rp 1.050.000,-. Namanya juga keuntungan
kotor yang belum dimasukkan biaya-biaya operasional lain seperti tenaga kerja,
bahan bakar, transportasi, dan overhead lainnya.
Pengolahan minyak nilam kapasitas 50 kg
Asumsi = harga bahan baku nilam kering rajang Rp 7.000,-/kg, harga
minyak nilam Rp 680.000,- (Juni 2014) dengan rendemen 2%.
Dengan cara yang sama di atas, maka akan diperoleh Margin Keuntungan
Kotornya sebesar Rp 330.000,-.
Pengolahan minyak sereh wangi kapasitas 50 kg
Asumsi = harga bahan baku daun sereh wangi segar Rp 600/kg, harga
minyak sereh wangi Rp 165.000,-/kg (Juni 2014), rendemen 0,7%.
Maka akan diperoleh angka Margin Keuntungan Kotor sebesar Rp 27.750,-
Pengolahan minyak daun cengkeh kapasitas 50 kg
Asumsi = harga bahan baku daun cengkeh kering Rp 1.500/kg, harga minyak
daun cengkeh Rp 138.000,-/kg (Juni 2014), rendemen 2%.
Maka akan diperoleh angka Margin Keuntungan Kotor sebesar Rp 63.000,-
Perhatikan angka-angka akhir dari ke-4 komoditi tersebut. Menurut anda,
komoditi manakah yang masih layak untuk diusahakan pada skala kecil? Silakan
analisis sendiri, ya. Dari data-data dasar tersebut, juga bisa dianalisis
berapa kiranya kapasitas minimum penyulingan untuk komoditi tertentu menurut
kacamata anda.
Tetapi sekali lagi, angka-angka di atas sangat relatif tergantung pada sejauh
mana orang tersebut memandang besaran nilai rupiah.
Petani-petani penggarap lahan nilam di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra
Barat, Jambi, atau Bengkulu menggunakan alat suling sederhana menggunakan bahan
drum bekas solar atau oli yang dirancang sedemikian rupa sehingga cukup
fungsional digunakan untuk menghasilkan minyak nilam. Contoh alat sulingnya
adalah seperti gambar di bawah ini.
Dengan kapasitas bahan baku sekitar 25-30 kg, rata-rata setiap
menyuling mereka menghasilkan minyak nilam 0.5 – 0.8 kg. Namun perlu
diperhatikan bahwa mereka adalah petani yang menanam bahan bakunya sendiri
(bersama keluarga), mengolah dengan tenaga sendiri, dan bahan bakarnya kayu
yang diperoleh secara cuma-cuma di hutan.
Pun demikian yang dilakukan oleh para petani-penyuling minyak sereh
wangi di kawasan Gayo Lues – NAD yang memanfaatkan drum bekas untuk menyuling
hasil panen sereh wangi. Setiap menyuling 2-3 jam mereka mendapatkan minyak sereh
sekitar 6 – 8 ons.
Di Jawa Barat, ada seorang rekan yang menyuling minyak daun cengkeh
hanya di kapasitas 50 kg saja. Dia mengumpulkan sendiri (bersama anggota
keluarganya) daun-daun cengkeh gugur di sela-sela waktu luangnya mengurus
ladang. Setiap 2 hari, dia menyuling sendiri di malam hari selama 4 jam sebelum
tidur (hanya 4 jam karena kapasitas kecil saja). Hasilnya sekitar 1 kg minyak
yang dijualnya dengan harga Rp 135.000,- (Juni 2014). Andai dalam sebulan dia
melakukan 15 kali penyulingan, artinya dia mendapatkan penghasilan tambahan Rp
2.025.000,- . Dengan ditambah penghasilan lain dari kebunnya sendiri, alhasil
UMP DKI Jakarta pun tewas. Padahal poin-poin KHL di desa tidaklah sekompleks di
DKI Jakarta :)
Beberapa
rekan juga ada yang mencoba menyuling minyak pala atau beberapa jenis
minyak atsiri dari bahyan rempah yang harganya relatif mahal. Kapasitas
kecil saja sekitar 30 – 100 kg. Setidaknya untuk keperluan ini, saya
pernah
membuatkan alatnya untuk beberapa konsumen di daerah-daerah penghasil
biji
pala.
Minyak atsiri retail
Memproduksi minyak atsiri kapasitas kecil untuk kepentingan penjualan
retail lebih cukup rasional. Alat suling ini dapat digunakan untuk berbagai
jenis minyak atsiri yang masih memungkinkan diperoleh bahan bakunya. Minyak
atsiri yang dihasilkan dikemas dengan ukuran misalnya 10 ml, 50 ml, atau 100 ml
dan diberi label. Harga minyak atsiri untuk penjualan retail ini memang tidak
ada standarnya (atau harga pasarannya). Artinya, harga dapat ditentukan sendiri
berdasarkan margin yang ingin diperoleh dan sejauh konsumennya merasa tidak
keberatan dengan harga yang ditawarkan.
Bagi
pemula, melakukan aktivitas penjualan retail juga bukan hal yang
mudah. Membutuhkan pengetahuan pasar yang baik karena pasar minyak
atsiri retail sangat spesifik dan tersegmen. Juga diperlukan kesabaran
dan keuletan dalam merajut jejaring pasar.
SELAMAT MEMPERTIMBANGKAN.....