Dalam melakukan analisis kualitas minyak atsiri, terutama yang berkaitan dengan kadar komponen kimia penentu kualitas minyak atsiri tersebut idealnya memang menggunakan teknik analisis kuantitatif dengan tingkat ketelitian yang baik di laboratorium. Salah satu instrumen untuk menganalisis komposisi minyak atsiri yang saat ini dinilai paling baik dan praktis adalah Gas Chromatography – Mass Spectrometry atau biasanya disingkat GC-MS. Kadar komponen penentu kualitas yang saya maksud di atas misalnya; PA (Patchouli Alcohol) untuk minyak nilam, eugenol untuk minyak daun/gagang cengkeh, miristisin untuk minyak pala, citronellal dan geraniol untuk minyak sereh wangi, vetiverol untuk minyak akar wangi, zingiberene untuk minyak jahe, cinnamaldehyde untuk minyak kayu manis, cineole untuk minyak kayu putih, sitral untuk minyak sereh dapur, lakton untuk minyak kayu massoi, santalol untuk minyak cendana, dll (jika saya sebutkan semuanya nanti terlalu panjang tulisan ini hanya untuk menyebutkan satu persatu komponen penentuan kualitas minyak atsiri….hehe)
Namun bagi para penyuling dan pedagang minyak atsiri pada level perdagangan di tingkat bawah dan menengah, penggunaan GC-MS untuk keperluan di atas masih sangat jauh panggang dari api. Disamping harga instrumen tersebut yang selangit jika ingin memilikinya (saya coba cek via internet harga baru GC-MS bervariasi tetapi rata-rata di atas 40.000 US$ (tergantung merk-nya) - silakan dirupiahkan sendiri. Sedangkan yang bekas berada di kisaran 15.000 US$ - 25.000 US$), juga andaikan melakukan analisis di laboratorium yang memiliki intrumen tersebut biaya per sampelnya juga cukup mahal (rata-rata sekitar Rp 250.000,-/sampel). Jadi, sangat tidak eknomis apabila setiap akan melakukan pembelian/penjualan minyak atsiri harus dites laboratorium menggunakan GC-MS.
[Huhh…kalau ada dana segitu mending untuk modal kerja dulu aja, deh…:p]
Lalu apa solusi praktisnya? Beberapa waktu lampau saya pernah membahas penggunaan alkoholmeter (oleh para pelaku minyak atsiri kadang disebut “meterlak”) sebagai sarana untuk memprediksi kadar PA (Patchouli Alcohol) pada minyak nilam meskipun hal ini masih bersifat pendekatan kasar. Pada tulisan kali ini, saya akan membahas penggunaan hidrometer untuk memprediksi kadar eugenol pada minyak daun/gagang cengkeh.
Saya yakin para pemain minyak cengkeh sangat paham menggunakan hidrometer ini. Cara penggunaannya sama persis dengan alkoholmeter yang saya sebut sebelumnya. Kedua alat ini pada prinsipnya sama saja yaitu untuk mengukur berat jenis (atau bahasa kerennya specific gravity) suatu cairan. Khusus untuk alkoholmeter memang memiliki fungsi khusus yaitu mengukur persentase alkohol/etanol berdasarkan berat jenisnya dan atau densitasnya (selengkapnya lihat http://ferry-atsiri.blogspot.com/2007/12/alkoholmetermeterlak.html ), tetapi oleh para pemain minyak atsiri “diselewengkan” penggunaannya untuk mengukur pendekatan kadar PA nilam (atau miristisin minyak pala). Perbedaannya hanya terletak pada rentang skala yang terukur.
Hidrometer yang dipakai untuk analisis minyak cengkeh memiliki skala antara 1,000 – 1,100. Lho, mengapa harus rentang nilai itu yang dipakai padahal rentang skala hidrometer yang dijual di pasaran banyak sekali ragamnya. Tentunya hal ini berkaitan dengan berat jenis eugenolnya itu sendiri. Berat jenis eugenol murni (100%) adalah 1,066 (pada suhu 25 C). Jadi, seandainya (ini hanya seandainya saja) minyak cengkeh itu isinya cuma eugenol saja maka jika dicelupkan hidrometer pada suhu 25 C, permukaan cairannya akan menunjukkan angka tersebut. Angka ini (1,066) berada di antara 1,000 dan 1,100. Paham saudara-saudara…:) :)
OK, sekarang kita lanjutan kembali. Bagaimana jika minyak cengkeh itu kadar eugenolnya tidak 100% tetapi (pastinya) di bawah 100%, yah…misalnya 75% atau 85%? Apa yang akan terjadi jika dicelupkan hidrometer ke dalamnya? Apakah skala yang ditunjukkan oleh hidrometer tersebut akan turun? Yah, memang begitulah jawabannya. Mengapa? Mari kita bahas komponen-komponen utama apa sajakah selain eugenol yang biasanya terdapat pada minyak cengkeh.
Beta-caryophyllene dan alpha-humulene adalah 2 komponen utama yang biasanya terdapat pada minyak cengkeh setelah eugenol. Untuk minyak dagang cengkeh biasanya ada juga eugenil asetat yang kadarnya lebih tinggi dari alpha-humulene. Mari kita lihat berat jenis kedua komponen tersebut dalam keadaan murninya. B-caryophyllene memiliki berat jenis rata-rata 0.903 (pada suhu 25 C) dan a-humulene rata-rata 0.892 (pada suhu 25 C). Jauh di bawah berat jenis eugenol, khan? Jadi apabila kadar eugenolnya turun, maka konsekuensinya adalah kadar beta-caryophyllene (terutama) dan alpha-humulene nya akan naik. Logikanya berpengaruh pada berat jenis totalnya yaitu akan mengalami penurunan dan pada akhirnya nilai yang tertera pada hidrometer juga akan turun.
Berdasarkan basis penjelasan di atas, saya mencoba untuk memprediksi kadar eugenol minyak cengkeh berdasarkan berat jenisnya (pengukuran menggunakan hidrometer pada suhu 25 C, sekali lagi….. PADA SUHU 25 C). Dengan mengasumsikan bahwa komponen dalam minyak cengkeh terdiri atas eugenol, beta-caryophyllene, dan alpha-humulene. [Terlalu kompleks apabila saya masukkan seluruh komponen minyak cengkeh yang jumlahnya sampai puluhan dimana kadarnya hanya di bawah 1% saja…hehe].
Ini hanya pendekatan (kasar) atau perkiraan saja sehingga angkanya tidak pasti seperti di bawah ini karena asumsi yang dipakai hanya 3 komponen utama di atas (ketiga komponen di atas secara total setidaknya berjumlah lebih dari 95% dari total keseluruhan komponen-komponen dalam minyak cengkeh). Tapi paling tidak bisa menjadi sebuah acuan praktis. Semoga…
(Angka hidrometer) 1.014 – 1.015 --> (berkadar eugenol) 65%
1.020 – 1.022 --> 70%
1.027 – 1.029 --> 73%
1.031 – 1.032 --> 75%
1.036 – 1.037 --> 78%
1.040 – 1.041 --> 80%
1.045 – 1.046 --> 83%
1.048 – 1.049 --> 85%
1.053 – 1.054 --> 88%
bingung om bacanya.... padahal saya lagi buat penyulingan juga, btw nama kain yang dipake buat memisahkan air dan minyak apa ya om
ReplyDelete