Thursday, July 24, 2008

Menggagas pengembangan minyak atsiri baru

Nilam berkibar!! Salahkah saya bila berbicara seperti itu dalam blog ini? Pasca kenaikan harga minyak nilam beberapa waktu lalu yang melebihi level Rp 1jt/kg (dan saat ini harganya juga masih sangat baik) banyak orang tertarik untuk mengembangkan minyak ini terintegrasi dengan perkebunannya. Mulai dari kapasitas kecil hingga kapasitas besar. Setidak-tidaknya hal inilah yang saya tangkap dari email-email yang masuk ke mailbox saya atau diskusi-diskusi informal dengan beberapa rekan yang bisa dikatakan 80% membicarakan minyak nilam dan potensi pengembangannya. Begitu juga dengan pemesanan alat-alat penyulingan minyak atsiri yang masuk ke saya, yang lagi-lagi untuk produksi minyak nilam. Daerah-daerah yang dahulu dapat dikatakan tidak mengenal nilam, saat inipun berlomba-lomba mengembangkannya. Sebut saja Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, hingga NTT. (Mumpung mau pemilu, ramai-ramai bikin partai NILAM, yok)

Di blog ini, saya tidak akan terjebak pada polemik berkepanjangan mengenai supply and demand dari minyak nilam dan apakah akan terjadi over supply akibat perkembangan minyak nilam Indonesia yang begitu dahsyat sehingga harganya akan kembali turun mengingat saya bukan pada kapasitas dan kapabilitasnya untuk berbicara mengenai hal itu di ruang publik seperti ini. Semua analisis pribadi akan saya simpan sendiri saja sebagai bahan renungan…hehe. Mungkin hanya satu hal yang ingin saya tekankan, minyak atsiri is my life. Naik ataupun terpuruknya harga minyak atsiri tidak akan mempengaruhi saya untuk terus berkarya di bidang ini….cieeeee. Mengingat kami menggeluti bisnis ini bukan atas dasar ikut-ikutan trend (ABG bilang kormod=korban mode), tapi lebih pada kecintaan (sejak mahasiswa dulu) pada salah satu sumber daya alami negeri ini dan ingin agar komoditas ini terus berkembang. Seperti banyak orang bilang “cinta itu buta”.

Berbicara minyak atsiri memang identik dengan minyak nilam meskipun aneka sumber minyak atsiri tersedia di Indonesia. Nilam cukup populer dan tidak butuh waktu lama untuk membudidayakannya hingga mulai menghasilkan. Cuma 6 bulan saja, kok. Dan bisa dikembangkan pada berbagai variasi tempat asalkan ketinggian dan kondisi agroklimatnya mendukung. Andaikan tidak mendukungpun, nilam masih tetap tumbuh normal hanya produktivitas, rendemen, dan kualitas minyaknya menurun.

Jika kita bandingkan dengan komoditas minyak atsiri lainnya yang tergolong tanaman keras seperti pala, kenanga dan ylang-ylang, kayu putih, kayu manis, gaharu, massoi, cengkeh, maka nilam memang banyak keunggulannya terutama dari sisi mekanisme pengadaan bahan baku. Saya ambil contoh minyak pala, sentra penyulingan minyak pala saat ini adalah Kabupaten Bogor. Sumber bahan baku memang tersedia di wilayah Bogor dan sekitarnya (Sukabumi dan Cianjur) tetapi adanya beberapa penyuling yang beroperasi di wilayah tersebut membuat iklim kompetisi untuk mendapatkan bahan baku sangat ketat. Alhasil, banyak penyuling yang melakukan ekspansi bahan baku keluar daerah tersebut. Bahkan juga hingga luar Jawa. Biji pala kering masih cukup baik disimpan dalam waktu beberapa hari sehingga bisa didatangkan dari manapun (asal harga + transportnya masih masuk akal). Mendirikan penyulingan pala baru di Kabupaten Bogor, tentunya harus juga harus berhadapan dengan penyuling-penyuling lama yang sudah mapan dan memiliki jaringan supply bahan baku yang baik. Kalau mau menanam sendiri, sah-sah saja asal mau menunggu sampai 7 tahun untuk menuai hasil perdana.

Beda lagi dengan minyak kenanga, sentra produksi minyak ini ada di Boyolali-Jateng dan Blitar-Jatim. Penduduk kedua daerah ini memang sejak dahulu sudah memiliki pohon-pohon kenanga (bukan kenanga tanaman hias, lho) di kebun atau halaman rumah. Kasusnya sama seperti komoditas pala di Bogor atau Sukabumi. Kalau orang mau menyuling minyak kenanga di Banten, ya repot juga mendatangkan bahan bakunya. Apalagi bunga kenanga yang baru dipetik sudah harus masuk ke ketel penyulingan saat itu juga.

Demikian juga produksi minyak daun cengkeh yang harus mendekati sentra perkebunannya, paling tidak radius 10 km. Jika tidak, ongkos transportnya yang sangat besar apalagi harga minyak daun cengkeh khan paling murah dari semua jenis minyak atsiri apapun. Makanya orang produksi minyak daun cengkeh harus kapasitas jumbo alias minimum menyuling sekitar 500-600 kg daun/batch. ”Wah, nggak kuat deh”, kata seorang rekan yang hendak mencoba masuk ke dunia minyak atsiri saat berdiskusi dengan saya.

Sementara untuk penyulingan kayu massoi, banyak disuling di luar Papua yang notabene satu-satunya penghasil komoditas kayu massoi. Meskipun saat ini industri penyulingan kayu massoi juga sudah berkembang di pulau kepala burung tersebut. Kalau anda mau produksi minyak ini harus kenal dengan para supplier bahan bakunya atau mengetahui seluk-beluk perdagangan kayu massoi mulai sejak dari sumbernya (Ya tidak, Wal...hehe).

Minyak gaharu itu mahal harganya. Dengar-dengar 1 ml bisa mencapai Rp 70.000,- (1 liter ekivalen dengan Rp 70.000.000,-). Menyuling kayu gaharu memang tidak semudah membayangkan harganya yang selangit, perlu pengetahuan yang mendalam perihal penyediaan bahan baku dan teknik produksinya yang khas.

Kalau modalnya besar dan ingin berinvestasi jangka panjang, bisa meniru Perum PERHUTANI yang memiliki ratusan hektar kebun ylang-ylang di Banten dan kebun kayu putih di Indramayu dan Gunung Kidul lengkap dengan instalasi penyulingan minyaknya.

Dari pemaparan di atas tampak jelas mengapa minyak atsiri yang berasal dari tanaman keras tidak terlalu dilirik oleh peminat atsiri dadakan (mohon maaf dengan istilah ini) mengingat untuk budidaya tanaman keras diperlukan waktu yang cukup lama. Yah.... mendingan gw nanam jati emas atau kayu albasia (sengon) aja, deh...hehe. Kalau peminat dadakan yang tertarik suatu bidang agrobisnis tertentu karena blow up media, khan maunya langsung ”menghasilkan”, ya ngga? Jadi inget sama kasus cacing tanah, jangkrik, mengkudu, mahkota dewa, dan baru-baru ini anthurium.

Bagaimana dengan akar wangi? Setahu saya minyak ini cuma ada di Garut. Katanya di Wonosobo-Jateng juga banyak ditanam tetapi peruntukannya berbeda. Di Garut untuk diproduksi minyaknya sedangkan di Wonosobo banyak dipakai untuk bahan baku produk-produk handy craft. Cerita punya cerita, pengembangan akar wangi di daerah selain Garut-Jabar beberapa kali dilakukan. Pertumbuhannya cukup baik tetapi minyak atsiri tidak sebaik Garut baik dalam hal kualitas maupun rendemennya. So, kalau mau investasi untuk penyulingan akar wangi, ya harus di Garut...hehe (Ya tidak, Pak Ede...:).

Minyak jahe? Sumber bahan baku (jahe emprit) juga cukup potensial, bahan bakunya bisa dicari dimana-mana karena cukup banyak sentra perkebunan jahe emprit. Meskipun memang setelah saya hitung-hitung marginnya cukup tipis juga. Jadi kalau mau ambil margin agak besar, harus mendatangi sentra-sentra perkebunannya dan membeli/bernegosiasi langsung dari para pengepul atau syukur-syukur petaninya langsung (hal ini juga tidak mudah dilakukan, tapi bukan berarti tidak mungkin). Jangan salah, lho nanti malah ditipu. Inginnya jahe emprit tapi dapatnya jahe gajah yang kecil-kecil dimana rendemennya sangat rendah. Jahe ini juga bisa kok dibudidayakan sendiri, waktu panen sekitar 12 – 16 bulan. Pun alih-alih harga minyak jahe rendah, setelah panen bisa dijual ke pengepul sebagai bumbu dapur atau obat-obatan/jamu....hehe. Atau bisa dikeringkan dan dijadikan simplisia untuk bahan baku farmasi.

Minyak melati yang harganya mahal pun sebenarnya bisa saja dibudidayakan sendiri asal tahu bagaimana cara memasarkan minyaknya. Produksinya memang agak beda dengan kebanyakan minyak atsiri, istilah kerennya ekstraksi pelarut (solvent extraction). Tuh, di TRUBUS edisi Juli ada prosedur produksi minyak melati skala kecil-kecilan.

Yang mirip-mirip nilam memang sereh wangi (citronella oil). Harganya cukup baik, naik perlahan-lahan hingga saat ini berada di level Rp 85.000 – Rp 90.000 /kg. Sangat mungkin untuk dibudidayakan sendiri bagi para peminat yang ingin cepat-cepat menghasilkan. Sereh wangi itu seperti nilam, 6 bulan sudah bisa dipanen. Selebihnya setiap 3-4 bulan sekali selama sekitar 3-4 tahun dengan catatan pemeliharaan dan perawatannya dilakukan secara berkesinambungan. Coba deh tanya Pak Tio yang muncul di TRUBUS bulan Juli dengan minyak sereh wanginya. Permintaan minyak sereh wangi dunia juga sangat besar mengingat tiga komponen utama minyak ini sangat dibutuhkan pada industri flavour and fragrance, seperti citronellal, citronellol, dan geraniol. Jika dibandingkan dengan hitung-hitungan bisnis minyak nilam dengan harga saat ini, dengan tegas saya katakan memang masih lebih menguntungkan minyak nilam.

Lalu bagaimana potensi minyak atsiri yang samar-samar terdengar yang sumber bahan bakunya sebenarnya tidak sulit untuk dicari (asal mau nyari, lho..hehe). Yang samar-samar tapi sebenarnya ada juga yang menampung meskipun tidak kontinyu seperti minyak lengkuas hutan (laja gowa), minyak daun jeruk purut, minyak kunyit, minyak kemukus, minyak lada hitam, minyak jinten. Ada juga minyak-minyak yang lainnya yang benar-benar tergolong baru di Indonesia seperti minyak sereh dapur, minyak kapulaga lokal, minyak adas, minyak kemangi, minyak temulawak, minyak bangle). Kalau bingung dengan literaturnya, jangan khawatir, datang saja ke perpustakaan Balitro di Cimanggu-Bogor. Boleh baca-baca, kalau mau photo copy juga boleh kok. Meskipun hasil penelitian memang tidak selalu mentah-mentah langsung bisa diaplikasikan, harus melewati bbrp tahapan lagi. Tetapi sebagai gambaran awal, it’s OK lah.

Komoditas ini tidak seperti nilam lho. Andaikan saat panen tiba harga minyaknya turun atau sulit memasarkannya, bisa dijual sebagai rempah-rempah, bumbu, atau bahan baku jamu. Kalau nilam, mau tidak mau harus disuling khan? Tidak mungkin bisa dipakai untuk bahan pangan. Atau jangan-jangan sebenarnya tanaman nilam bisa dipakai sebagai pengganti canabis sativa alias ganja....hehehe (just kidding, don’t take it too serious, babe).

Saya sendiri sedang eksplorasi pasar untuk jenis-jenis minyak atsiri baru. Tidak harus ekspor lah, ke tengkulak atau pengumpul atau agen atau trader atau apapun namanya untuk tahap awal sih sah-sah saja. (It's better to do the things what you think "I can do it succesfully". And it's better to start now - even for small one, but well done, than you just show up your bullshit talk everywhere).
Yang penting harga OK. Syukur-syukur malah dapat end-user langsung baik untuk spa, aromatherapy, sabun, balsem, pewangi, retailer, dll. Tidak apa-apa jumlahnya kecil untuk keperluan terbatas dan eksklusif tetapi marginnya besar. Orang bilang, low volume – high margin. Tidak seperti saya yang saat ini produksi minyak pala, high volume – low margin....hehe (bahkan kadang-kadang negative margin). Meskipun saat ini belum menemukan pasar yang tepat untuk jenis-jenis minyak atsiri baru, tetapi yakinlah dengan kesabaran, konsistensi, keuletan bereksplorasi, keyakinan, dan ketekunan semuanya akan sesuai dengan rencana. Seperti Kolonel Hannibal dalam serial The A Team sering mengatakan di akhir cerita “I love when the plan comes together” sambil menyeruput cerutu yang tak pernah lepas dari bibirnya.