Monday, December 31, 2007

Alkoholmeter/meterlak

Apa itu alkoholmeter atau di kalangan penyuling biasa disebut "meterlak"? Sebenarnya alat ini tidak lain adalah hydrometer yang berfungsi untuk mengukur berat jenis (specific gravity) suatu larutan/cairan. Sedangkan dalam konteks alkoholmeter, jenis hydrometer ini sebenarnya secara spesifik digunakan untuk mengukur konsentrasi alcohol (etanol) dalam air. Misalnya, jika kita memiliki cairan alcohol 70%-berat maka ketika alkoholmeter ini dicelupkan dalam cairan tersebut permukaan cairan akan menunjukkan angka 70 pada skala alkoholmeter. Jika dicelupkan pada air murni, maka permukaan cairan akan menunjuk angka 0 pada skala alkoholmeter. Alkoholmeter dapat dibeli di toko kimia atau toko perangkat laboratorium terdekat dengan harga yang bervariasi antara Rp 100.000 s/d Rp 200.000,-

Alat ini sering digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur kualitas beberapa jenis minyak atsiri pada perdagangan di tingkat penyuling/pengepul, misalnya minyak nilam, pala, cengkeh, sereh wangi. Hal ini dilakukan karena prosesnya sangat simple, cepat, dan tidak membutuhkan biaya meskipun tingkat akurasinya dalam mendeteksi kadar komponen utama yg menentukan kualitas minyak masih belum sempurna. Jika dilakukan analisis komponen menggunakan alat dengan tingkat akurasi tinggi seperti GC atau GC-MS tentu memerlukan waktu yg lama dan biaya yg mahal. Pada perdagangan minyak atsiri untuk tingkatan yg lebih tinggi lagi, tentu analisis kualitas menggunakan alkoholmeter menjadi tidak valid dan kurang diterima.

Contohnya untuk minyak nilam, batasan nilai meterlak tertinggi yg diterima di kalangan pengepul adalah 40 (meskipun untuk masa krisis minyak nilam seperti saat ini, batasan tersebut masih sangat dapat ditoleransi). Hal ini bukan berarti bahwa kadar PA minyak tersebut 40%. Semakin tinggi nilai meterlak minyak nilam, maka minyak tersebut akan semakin encer dan densitasnya semakin menjauhi air (densitas 0,998 - 1 gr/cm3). Coba kita bandingkan secara logika, PA (patchouli alcohol/pathcoulol) dalam keadaan murni memiliki densitas sekitar 1.001 gr/cm3 dan berbentuk kristal, artinya densitas PA itu mendekati air (atau malah mirip dengan air). Nah, jika angka meterlaknya makin besar artinya semakin menjauhi densitas air sehingga "pendekatan" yang dipercaya adalah kadar PA-nya semakin rendah yang bisa jadi juga telah dicampurkan (adulterasi) dengan komponen yang larut dalam minyak nilam seperti alkohol. Lalu, timbul pertanyaan lebih lanjut, apakah jika meterlak-nya semakin rendah maka kadar PA nilam juga makin tinggi? Sebagai pendekatan, bisa dikatakan "YA". Tetapi apabila terlalu rendah, bisa jadi pula (baca=dicurigai) diakibatkan oleh pencampuran komponen lain. Berdasarkan SNI, rentang berat jenis minyak nilam yang dipersyaratkan adalah 0,943 – 0,983. Setelah saya coba olah dan hitung-hitung, nilai berat jenis tersebut akan ekivalen dengan nilai meterlak 30 – 10.

Minyak nilam tentu saja mengandung berbagai macam komponen kimia dengan berat jenis yang bervariasi dimana turut berpengaruh terhadap nilai meterlak ini, sehingga itulah mengapa analisis model ini belum cukup valid meskipun telah ada semacam kurva kalibrasi yang menghubungkan antara kadar PA dengan angka meterlak.


Sunday, December 16, 2007

PA Nilam

Pertanyan Imam:

Dear Mas Feri,
Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri.
Nama saya : imam joko tinggal di pasuruan Jatim.
Saya adalah karyawan dari salah satu PMA jepang (bisa anda lihat dari e-mail address saya). Saya tahu anda dari blog yang anda punya. Saya tertarik dengan bisnis ini karena saya lihat prospeknya cukup bagus walaupun semua ada resikonya. Saya sedang mempelajari dan mencoba menggeluti bisnis minyak nilam ini. Saya bekerja sama dg seorang kawan penyuling minyak nilam dengan kapasitas 100kg kering per hari dengan demikian saya bisa langsung tahu kendala2 dan peluang2nya.

Ada yang ingin saya tanyakan, mudah-mudahan Mas Feri berkenan menjawabya.
1. Tentang kadar PA.
Bagaimana cara mengukurnya, apakah ada alat ukur yg bisa dibeli dipasaran? Semakin tinggi kadar PA apakah kualitas semakin baik/sebaliknya. Soalnya saat minyak dijual ke pengepul semakin rendah PA maka harga semakin mahal. Rata2 PA minyak saya 34-37%. Saat ini dihargai sekitar Rp. 790,000/kg. PA 34% lebih mahal dari PA 37%. Bagaimana harga pasaran sekarang?

2. Peningkatan kadar PA

Dari refrensi yg saya baca kadar PA banyak dipengaruhi dari bahan bakunya. Pertanyaan saya apakah minyak hasil suling masih bisa di-improve kadar PA-nya, kalo bisa bagaimana caranya.

Sementara ini dulu perkenalan saya.

Jawaban Ferry:

Salam kenal kembali Mas Imam...
Langsung saja ya...
1. Mengenai alat ukur PA yang akurat tentu saja dapat menggunakan analisis GC-MS tetapi itu hanya ada di perusahaan2 bermodal besar atau di lembaga2 penelitian (atau kampus) yang memang memilikinya utk keperluan penelitian (dan kadang2 dikomersialkan juga). Sekali analisis GC-MS biayanya paling murah yg pernah saya lakukan adalah Rp 125.000 - Rp 175.000/sampel. Kalau alatnya harganya sangat mahal, yah... up to 0.5M lah. Sedangkan alat pengukur PA yang digunakan oleh pengepul adalah alkoholmeter/meterlak yang bisa diperoleh di toko2 kimia atau alat2 lab. Alat itu hanya digunakan sebagai pendekatan, jadi bukan untuk mengukur kadar PA-nya. Meskipun ada yang sudah memiliki kurva kalibrasi/hubungan antara angka yang tertera pada meterlak dengan perkiraan kadar PA-nya. Tentu saja kadar PA yang lebih tinggi memiliki nilai jual yang tinggi. Nah, nilai meterlak itu berbanding terbalik dengan kadar PA sesungguhnya. Semakin rendah nilai pada meterlak, maka semakin tinggi kadar PA-nya. Begitu pula sebaliknya.

2. Kadar PA memang sangat dipengaruhi oleh bahan bakunya. Perbedaan pemupukan dan topografi lahan juga turut menentukan kadar PA minyak nilam. Minyak nilam hasil sulingan bisa ditingkatkan kadar PA-nya dengan berbagai cara, namun tentu saja biayanya lumayan mahal.
Hanya saja, kita harus hitung2an cost produksi utk peningkatan kadar PA. Kalau memang harganya tidak meningkat secara signifikan, maka silakan dihitung2 sendiri apakah masih untung atau rugi ketika melakukan peningkatan kadar PA. Yang jelas, dalam upaya meningkatkan kadar PA minyak nilam pasti akan ada beberapa % minyak yang loss (hilang).

Demikian semoga dapat memberikan informasi

-ferry-

Minyak Akar Wangi

Pertanyaan Chandra:
Mas Feri perkenalkan nama saya Chandra, saya sangat terkesan dengan usia anda yg begitu belia udah menjadi dosen dan mempunyai seabreg ilmu pengetahuan dan pengalaman berusaha dalam bidang essential oils. Selagi surfing di web meng-google info tentang vertiver root oil saya terdampar di blog anda hehe. Ingin sekali saya bertemu dan konsultasi dg mas Feri mengenai minyak akar wangi. Bagaimana prospek minyak ini sekarang apakah masih menguntungkan untuk dijalankan?

Trims.

Jawaban Ferry:
Dear Mas/Pak Chandra….
Terima kasih atas apresiasinya.
Mengenai vetiver oil, Indonesia memproduksi vetiver oil dalam jumlah terbatas dan HANYA di Kabupaten Garut saja. Sejauh pengetahuan saya, belum ada satu daerahpun di Indonesia yang memproduksi minyak akar wangi selain di Garut karena memang kondisi agroklimat yang cocok untuk tanaman tersebut. Kalaupun ada, akar wanginya digunakan untuk keperluan kerajian angan (handy craft). Untuk pengembangan daerah lain, saya kira perlu studi agroklimat yang menyeluruh dan kebun percobaan supaya tingkat keberhasilan penanaman dan rendemen minyak yang dihasilkan baik.

Kalau bicara prospek, peluangnya masih sangat besar.
Mengenai menguntungkan atau tidak, semuanya tergantung pada optimalisasi produksi minyak, optimalisasi proses, dan sistem tanam yang baik. Produsen vetiver oil yang besar di dunia hanyalah Indonesia, Haiti, Kep. Reunion.

Salam,
-ferry-

Usaha Atsiri 1

Pertanyaan:

Halo, Pak Fery... Salam kenal. Saya Surya tinggal di tangerang, mao tanya2 ttg minyak atsiri.
Kebetulan saya sedang mencari peluang usaha, maunya sih di bidang agrobisnis. Belum lama saya baca di blog Anda mengenai usaha minyak atsiri, sepertinya banyak potensi alam kita yang belum tergali optimal ya???
Tapi saya agak ragu, krn basic saya bukan kimia. Kebetulan saya orang teknik mesin. Makanya saya mao tanya dengan ahlinya minyak atsiri.
1. Untuk orang awam seperti saya, apa bisa memulai usaha ini?
2. Berapa modal minimum yang dibutuhkan untuk memulai dengan skala UKM, tapi standar ekspor untuk hasil produk?
3. Bagaimana potensi usaha ini ke depan? Bisa bersaingkah dengan negara lain?
Terima kasih atas perhatian dan jawabannya.

Jawaban :
Salam kenal kembali Mas Surya
Langsung saja ya...

1. Seharusnya bisa saja Mas. Lha wong para penyuling yang di desa-desa itu bukan sarjana (malah banyak yang cuma lulusan SD) tapi buktinya mereka bisa juga kok menjalankan bisnis ini…hehe. Yang jelas, faktor kritikal dalam bisnis ini adalah tingkat ketersediaan dan kualitas bahan baku saja. Mengenai market, selagi kita tidak bersikap terlalu idealis dalam hal pemasaran saya yakin pasarnya selalu ada.
2. Ini tergantung minyak atsirinya jenis apa. Saya berbicara realistis sesuai dengan keadaan lapangan yang ada. Bicara mengenai standar ekspor, harus dipastikan dahulu apakah produknya memang mau diekspor sendiri atau mau dijual via pedagang2 pengumpul. Standar kualitas untuk ekspor itu banyak parameternya, tapi kalau standar pemasaran lokal via pedagang pengumpul itu tidak terlalu rumit, malah dibikin sesederhana mungkin supaya praktis. Kalau memang mau ekspor langsung, tentu tidak mudah karena selain harus punya modal kerja yang sangat besar, juga harus "bertempur" dahulu dengan kompetitor2 (eksportir2) domestik. Sebagai pemula, tentu faktor resiko benar2 harus dipertimbangkan. Saran saya, mungkin bisa dimulai dengan kapasitas kecil dan mencoba mengenali bisnis ini secara mendalam melalui usaha skala UKM. Kalau tidak mencoba memulai, maka pengetahuan bisnis atsiri dapat dipastikan tidak akan berkembang apalagi ketika dihadapkan pada kompleksnya sistem pemasaran atsiri di Indonesia dan kendala2 teknis lainnya. Kalau sudah merasa OK dengan bisnis ini, silakan kembangkan sesuai dengan kemampuan finansial yang ada.
3. Kalau bicara secara global, saya pikir dengan sistem pengolahan dan agribisnis yang baik yang berdampak pada tingkat kualitas minyak yang OK, pasti akan dapat bersaing dengan negara lain.

Untuk mendalami bisnis atsiri ini, saran saya silakan Mas Surya berkunjung langsung ke penyulingan-penyulingan minyak atsiri dan belajar langsung di lapangan selama beberapa waktu tertentu.

Demikian Mas Surya. Semoga berkenan
-ferry-

Wednesday, December 05, 2007

GARUT "the land of vetiver"


Kembali bersama Ferry dalam edisi tour the atsiri….hehe. Selaksa perjalanan untuk menambah wawasan dan ilmu di bidang minyak atsiri. Harum semerbak mewangi begitu kental terasa dalam indra penciuman kala melewati tugu batas Desa Sukakarya – Kecamatan Samarang – Kab. Garut, Ja-Bar. Di sebelah kanan dan kiri jalan yang saya lalui sepanjang jalan raya Kamojang ada beberapa penyulingan minyak akar wangi yang sepertinya berhenti berdenyut. Ditandai dengan ketel-ketel suling yang bergelimpangan di sisi bangunan pabrik dan sepinya aktivitas di setiap pabrik. Apa gerangan yang terjadi?

Jawaban itu akhirnya saya dapatkan saat berjumpa dengan salah satu penyuling minyak akar wangi yang sudah cukup tenar, tidak hanya di Garut, tetapi juga di Jawa Barat dan Indonesia, yakni Bapak H. Ede Kadarusman. Beliau saat ini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Petani, Produsen, dan Pelaku Bisnis Minyak Atsiri Jawa Barat (AP3MA-Jabar) dan salah satu pengurus Dewan Atsiri Indonesia (DAI). "Dari sekitar 14 penyuling akar wangi di Kec. Samarang, saat ini hanya 3-4 yang aktif beroperasi termasuk yang punya saya", begitu ceritanya seraya menyeruput kopi manis di sela-sela bibirnya. Masalahnya adalah bahan baku yang sangat terbatas sebagai imbas turunnya harga minyak akar wangi awal tahun 2006 kemarin yang hanya mencapai Rp 200.000/kg. Menurutnya, untuk menjalankan 1 unit penyulingan berkapasitas 1.5 ton akar per batch secara kontinyu membutuhkan lahan garapan sekitar 100 ha. Harga minyak akar wangi di tingkat pengumpul saat ini sudah relatif baik yaitu sekitar Rp 525.000 – Rp 600.000/kg tetapi apa daya masih cukup sulit untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk menanam kembali komoditas ini. Pak H. Ede bersama kelompok taninya saat ini mengembangkan 100 ha perkebunan akar wangi yang ditanam pada ketinggian sekitar 1300 – 1400 m dpl. Alhasil, dari 2 ketel suling miliknya hanya satu saja yang beroperasi.

Dengan sistem pertanian yang tradisional, setiap 1 ha lahan dapat menghasilkan 7 – 8 ton akar wangi per tahun dengan tingkat rendemen 0.3 – 0.5% (basis kebun, bukan basis kering) dan usia panen rata-rata 1 tahun. Adapula yang memanennya di bawah 1 tahun sehingga rendemen dan kualitas minyaknya tentu saja jauh dari harapan. Sedangkan Pak Ede saat ini mengikuti SOP yang benar dalam bertanam akar wangi sehingga menurutnya terjadi kenaikan produktivitas hingga 12 – 15 ton per tahun dengan tingkat rendemen 0.6 – 0.8%. Meskipun biaya operasionalnya hampir 2 kali lipat sistem pertanian tradisional tetapi hasilnya bisa 2 kali lipat lebih tinggi.

Masalah yang sering terjadi dari sisi proses produksi adalah tekanan kerja ketel suling yang tinggi yaitu sekitar 5 barg (6 bar a) sehingga minyak akar wangi yang dihasilkan berbau gosong karena temperatur uap yang tinggi. Penyulingan dengan tekanan 2.5 – 3 barg akan menghasilkan minyak akar wangi yang berbau lebih halus dan berwarna lebih jernih. Hanya saja timbul masalah lain, ketika menyuling pada tekanan yang lebih rendah maka dibutuhkan waktu penyulingan yang lebih lama. Jika menggunakan tekanan tinggi, 12 jam saja sudah cukup. Tetapi jika tekanannya lebih rendah memakan waktu 16 -18 jam. Hal ini berdampak pada besarnya biaya bahan bakar (minyak tanah) yang dikeluarkan (rata-rata 22 liter minyak tanah/jam). Demikian pula halnya dengan rendemen yang dihasilkan, penggunaan tekanan rendah menghasilkan minyak lebih sedikit daripada tekanan tinggi.

Pesaing minyak akar wangi garut di pasaran internasional adalah akar wangi dari Haiti. Tetapi akar wangi Haiti dihargai lebih mahal daripada minyak akar wangi Garut. Hal ini sudah dibuktikan sendiri oleh Pak Ede saat berkesempatan mengunjungi daratan Eropa dalam rangka misi vetiver oil beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu saja karena kualitas minyak akar wangi Garut berada di bawah Haiti.

Upaya-upaya untuk mempertahankan Garut sebagai "the land of vetiver" gencar didengung-dengungkan. Karena memang hanya Garut-lah yang memproduksi komoditas ini di Indonesia. Akar wangi bukannya tidak pernah dibudidayakan di tempat lain, tetapi hasilnya tidak sebaik di Garut. Akar yang dihasilkan memang panjang-panjang tetapi rendemen minyak yang dihasilkan jauh dari harapan. Akhirnya banyak digunakan sebagai bahan baku untuk kerajinan tangan. Jadi, perhatian kepada komoditas ini selayaknya dapat berkesinambungan dan bukan hanya sebagai proyek jangka pendek saja.

Maju terus, Pak Ede.