Friday, July 30, 2010

The Cinnamons......

Sudah lama rasanya tidak menuliskan sesuatu di blog “Essential Oil Corner” ini untuk dinikmati oleh rekan-rekan penggemar minyak aromatic ini.Di penghujung Bulan Juli ini saya akan berbagi sejengkal pengalaman berkaitan dengan minyak kayu manis (cinnamon bark oil).

Sudah lama saya hendak menulis sesuatu tentang minyak ini tetapi karena pengalaman dan pengetahuan masih sedikit urung untuk dilakukan. Meskipun bukan berarti saat ini telah banyak hal saya ketahui tentang minyak kayu manis, bukankah ada pepatah mengatakan “makin banyak hal yang kita ketahui, semakin banyak pula hal yang tidak kita ketahui”.

Cinnamon, mungkin sebuah kata yang tidak asing bagi kita, baik yang bergelut di bidang minyak atsiri dan perisa (flavor) maupun kalangan awam. Mungkin diantara anda pernah merasakan nikmatnya menyeruput kopi beraroma cinnamon di kedai-kedai kopi modern, atau pernah juga mangkal sejenak di sebuah kafe bertajuk Kafe Cinnamon atau Kafe kayu manis di Bandung maupun di kota-kota lainnya. Begitu pula terbuai oleh alunan manis musik dari sebuah grup band beraliran pop-akustik bernama D’Cinnamons.

Banyak rekan tertarik dengan minyak atsiri jenis ini dengan asumsi bahwa bahan baku tersedia cukup melimpah terutama di daerah Sumatra Barat dan Kerinci-Jambi yang seakan sudah menjadi semacam “indikasi geografis” atau sesuatu yang khas dari daerah tersebut yang dapat disetarakan dengan nilam-Aceh, akar wangi-Garut, kenanga-Blitar, massoi-Papua, kayu putih-Buru, lada putih-Bangka, tembakau-Deli, kopi-Toraja, dll. Dalam bentuk rempahnya (quill), kayu manis ini sudah demikian terkenal di mancanegara. Tetapi ironisnya keadaan sebaliknya justru terjadi pada komoditas minyak atsirinya.

Mengapa saya mengatakan banyak yang tertarik? Banyak rekan menghubungi saya dan bertanya-tanya tentang minyak kayu manis dan prospek pemasarannya bahkan analisis keekonomiannya. Saya hanya mengatakan bahwa memasarkan minyak kayu manis tidak semudah jenis minyak atsiri seperti nilam, pala, cengkeh, sereh wangi, dan kenanga serta beberepa jenis minyak atsiri lain yang lebih dahulu populer. Apalagi bagi para pemain baru yang masih harus mengenali lika-liku bisnis ini terlebih dahulu. Selain kendala pemasarannya, juga mengenai keekonomiannya mengingat rendemen minyak kayu manis tidaklah besar dan terkadang tidak imbang dengan harga bahan bakunya. Saya hanya usulkan, silakan bawa bahan bakunya sekitar 20-40 kg ke tempat kami lalu kita suling bersama-sama dengan ketel kecil yang memang kami sediakan untuk percobaan-percobaan. Berikutnya akan kita analisis rendemennya dan silakan mencari pasarnya dahulu berdasarkan sampel yang diperoleh dari penyulingan skala pilot ini.

Dari beberapa kali percobaan penyulingan yang telah kita lakukan bersama, rendemen minyak kayu manis yang dihasilkan bervariasi antara 0.3 - 1.1% (basis bahan baku kering yang dihancurkan terlebih dahulu). Rendemen ini sangat tergantung pada kualitas kulit kayu manisnya. Semakin tebal dan tua usia kayu manis, maka rendemennya semakin tinggi. Sedangkan kulit kayu manis yang berasal dari ranting dan ukuranya tipis memiliki rendemen yang paling rendah. Mengingat berat jenis minyak kayu manis itu mendekati berat jenis air (sedikit lebih berat minyak kayu manis) maka terjadi sedikit kesulitan dalam proses pemisahan antara minyak atsiri dan airnya. Sebagian besar akan melayang-layang di dalam air kondensat/distilat dan sebagian lagi juga turut larut dengan air distilat yang ditandai dengan warna air yang berwarna putih mirip air cucian beras. Oleh sebab itu, penanganan distilat penyulingan minyak kayu manis membutuhkan perhatian yang sangat serius supaya tidak banyak kehilangan minyak atsiri yang turut “lari” bersama kondensat.

Well, yang akan saya bahas pada tulisan ini bukalah proses penyulingannya tetapi yang lebih esensi adalah jenis-jenis minyak kayu manis yang bersifat komersil mengingat dalam ilmu botani tanaman ber-famili Lauraceae dan bergenus Cinnamomum ini memiliki banyak species. Sementara yang disebut sebagai “cinnamon” sebenarnya hanya beberapa saja dan dari yang beberapa ini mempunyai nilai komersial yang berbeda-beda. Secara garis besar, tipe-tipe minyak atsiri jenis Cinnamon terbagi menjadi 3 (atau bahkan 4) yaitu Ceylon Cinnamon/kayu manis Srilanka, Indonesian Cinnamon/Cassia vera/kayu manis Indonesia, China cinnamon/cassia/kayu manis China, dan Vietnam Cinnamon.

Banyak orang yang belum mempelajari betul-betul jenis minyak atsiri kayu manis merasa keliru perihal nilai komersial dari minyak ini. Sumber bahan baku kayu manis di negara kita cukup melimpah terutama di di Sumatra Barat dan Kerinci-Jambi yang telah saya sebutkan di atas, tetapi menurut saya nilai komersialnya minyak atsirinya cukup rendah dibandingkan harga rempahnya apalagi yang berkualitas bagus (tipe AA atau KM). Kalau anda mendapatkan suatu informasi (misalnya dari surfing via internet) yang menyatakan bahkan harga Cinnamon oil di tingkat dunia mencapai harga di atas 200 US$/kg, itu berarti jenis minyak kayu manis Srilanka yang berasal dari species Cinnamomum zeylanicum atau Cinnamomum verum. Species ini berbeda dengan yang kita miliki di daerah-daerah di atas yaitu jenis Cinnamomum burmanii yang pucuk-pucuk daunnya (daun muda) berwarna kemerahan. Sementara kayu manis Srilanka tidaklah demikian. Sementara jenis kayu manis Sri lanka di Indonesia sangat jarang dan belum dibudidayakan secara luas seperti halnya Cinammomum burmanii (Cassia vera). Anda bisa cek perbedaan kedua jenis kayu manis ini melalui googling. Sementara harga minyak kayu manis Burmanii di tingkat lokal pengepul/eksportir yang saya tanyakan hanya pada kisaran 500an ribu rupiah saja. Itupun permintaannya tidak banyak. Ga

mbar di bawah ini merupakan perbedaan dari kedua jenis rempah kayu manis tersebut (diambil dari wikipedia.org). Di mana yang sebelah kiri merupakan kayu manis Srilanka dan sebelah kanan adalah kayu manis Indonesia.

Saya punya pengalaman menarik berkaitan dengan hal ini. Pada suatu kesempatan saya mengunjungi seorang penangkar macam-macam bibit di daerah Purwokerto-Jawa Tengah yang pada akhirnya saya banyak belajar dari beliau tentang ilmu pembibitan serta tentu saja mengenai kayu manis. Secara tidak sengaja di depan rumah beliau saya memperhatikan suatu pohon yang jika saya perhatikan tekstur daunnya mirip dengan kayu manis (Burmanii yang pucuk daunnya berwarna kemerahan) tetapi bentuknya lebih lebar/besar dan tidak dijumpai pucuk-pucuk daun yang kemerahan seperti yang saya ketahui tentang pohon kayu manis sebelumnya. Saya petik daunnya dan saya cium (sudah menjadi kebiasaan saya dimanapun apabila melihat tanaman yang belum pernah saya jumpai selalu saya cium baik daunnya, bunganya, maupun kulit kayunya…hehe), ternyata aromanya memang kayu manis. Di bawah ini merupakan gambar pohon kayu manis burmanii (diambil dari www.tradewindsfruit.com)

Setelah saya bertanya pada beliau perihal tanaman apakah ini yang mirip-mirip dengan kayu manis tapi kok pohonnya tidak sama dengan kayu manis yang biasanya saya lihat. Beliau dengan antusias menerangkan bahwa ini memang jenis kayu manis yang biasa dipakai orang Jawa memasak. Kalau yang pucuk daunnya kemerahan jarang dipakai sebagai bumbu masak oleh orang di sekitarnya. Kayu manis yang pohonnya kemerahan itu biasanya hanya dipakai sebagai tanaman penghias jalan atau hiasan peneduh rumah. Orang Jawa menyebutnya “manis jangan" (“jangan” dalam bahasa Jawa artinya “sayur”). Beliau juga mengatakan kalau dibuat minyak atsiri paling bagus yang jenis ini dan bukan jenis yang berwarna kemerahan. Nah lho…. Sejenak memori di otak saya langsung mengingatkan pada Cinnamomum zeylanicum alias kayu manis Srilanka yang memiliki nilai komersial tinggi dalam hal komoditas minyak atsirinya. Bahkan tidak hanya kulit kayunya (cinnamon bark oil) tetapi juga minyak daunnya (cinnamon leaf oil). Sementara yang saya ketahui minyak daun kayu manis Burmanii belum memiliki nilai komersial saat ini. Setelah saya tanyakan, Bapak itu ternyata juga menjual bibit pohon kayu manis jenis "manis jangan" ini. Mungkin saya akan membelinya beberapa sebagai koleksi pribadi..:)

Saya sempat mengambil photo-photo pohon tersebut. Hanya sayangnya, saya tidak membawa kamera sehingga hanya bisa diphoto melalui handphone. Dan sayangnya pula, memori handphone saya rusak sebelum photo-photo tersebut berpindah ke laptop sehingga hasil jepretan amatiran tersebut tidak bisa di-share di blog ini. Akhirnya untuk memberikan ilustrasi untuk rekan-rekan pembaca “terpaksa” saya mencatutnya dari website lain yaitu Wikipedia.org.

Yah, pada akhirnya saya simpan dalam-dalam informasi dari Bapak tersebut dalam perjalanan pulang kembali ke Subang.

Sesampainya di rumah, rasa penasaran saya tetap muncul. Akhirnya saya melakukan googling dan “manis jangan” yang disebut Bapak itu ternyata adalah jenis Cinnamomum verum. Saya terus saja googling dan menurut informasi dari Wikipedia, Cinnamomum verum merupakan sinonim dari Cinnamomum zeylanicum – si kayu manis Srilanka. Wow, setidaknya menurut Om Wiki bayangan saya tentang hal ini sudah tepat. Lebih lanjut dikatakan oleh Om Wiki bahwa istilah “cinnamon” lebih tepat untuk merepresentasikan kayu manis Srilanka. Sedangkan jenis lainnya seperti C. burmanii (Indonesia), C. cassia atau C. aromaticum (China) dan C. loureiroi (Vietnam) sering juga dipasarkan dengan label “cinnamon”. Cinamon Srilanka inilah yang sering disebut sebagai “true cinnamon” alias cinnamon asli. Tetapi untuk membedakannya saat ini perdagangan rempah-rempah kayu manis dari Indonesia sering menggunakan istilah “Cassia Vera”.

Minyak atsirinya sendiri tentu saja memiliki kualitas dan kandungan komponen yang berbeda-beda meskipun kandungan utamanya tetap Cinnamic aldehyde alias cinnamaldehyde. Kandungan cinammadehyde dari kayu manis Srilanka sekitar 65-76% dan lebih tinggi daripada kayu manis Burmanii dengan kadar sekitar 50%. Daun kayu manis Srilanka mengandung eugenol 65-95%. Hal inilah mungkin yang menyebabkan minyak daun kayu manis ini memiliki nilai komersial karena kandungan eugenolnya setara dengan minyak daun cengkeh atau minyak tangkai cengkeh.