Sunday, October 26, 2008

BERKEBUN DAN MENYULING NILAM DI KOTA.... MUNGKINKAH??

Mungkinkah...........???


Pada awalnya aku menduga bahwa tidak mungkin melakukan penyulingan sekaligus berkebun nilam di wilayah perkotaan meskipun untuk skala rumah tangga. Karena usaha ini memang lekat dengan nuansa pedesaan dan dalam proses produksinya menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Namun dugaan tersebut ternyata salah besar.


Di sela-sela kegiatan sebagai pendamping pada “Pelatihan Pendampingan Standarisasi Proses Penyulingan Minyak Atsiri” di Garut oleh Disperindag Jabar tempo hari, aku berkesempatan untuk berkunjung ke Kota Tasikmalaya atas ajakan seorang penyuling sekaligus pekebun (Kita sebut saja, Pak X atau Bapak ini). [Mohon maaf lokasi tepatnya dan nama penyuling tersebut tidak aku sebutkan mengingat belum meminta izin yang bersangkutan untuk mencantumkan identitas dalam tulisan ini dan dipublikasi di internet via blog “essential oil corner”]. Perjalanan dari Garut menuju Kota Tasikmalaya via Singaparna kami tempuh kurang dari 2 jam. Tiba di Kota Tasik, mentari baru saja tertelan bumi di ufuk Barat. Sebelumnya aku tak percaya meskipun kawanku itu mengatakan bahwa penyulingannya berada di dalam kota dan di sebuah kompleks perumahan bahkan sekaligus kebunnya.


Pak X bahkan dengan rendah hati berujar kepadaku pada perjalanan ke Tasik,”Pak Ferry, terus terang saja alat suling saya cuma terbuat dari drum. Nanti kalau lihat ke sana jangan diolok-olok, ya. Saya minder kalau melihat gambar-gambar alat suling yang tadi Pak Ferry perlihatkan.” Beliau memang menyimak presentasiku di depan forum dan memang ditunjukkan gambar-gambar alat penyulingan sistem uap dengan boiler dan terbuat dari stainless steel. Termasuk juga ketel penyulingan minyak pala kami di Ciawi-Bogor.

Setelah tiba di rumah kawan tersebut, kami diajaknya ke pekarangan belakangan rumah dan ternyata memang sudah berdiri sebuah penyulingan minyak nilam sederhana sistem kukus (tapi fungsional) dengan kapasitas sekitar 70-80 kg daun nilam per proses. Ketelnya terbuat dari drum besar yang dirancangnya sendiri dengan berbagai macam ujicoba. Kayu digunakan sebagai bahan bakar dengan penjepit tutup ketel seperti kaleng krupuk. Yah, cukup sederhana (sesederhana di pemilik penyulingan yang rendah hati) tetapi cukup fungsional dan ekonomis.


Sejak dari tahun 2000 beliau mengusahakan penyulingan di rumahnya, sehingga ketika harga minyak nilam anjlok hingga Rp 120.000,- di tahun 2003 maupun di tahun 2006 beliau sempat merasakan. Pun ketika harga melonjak di atas level Rp 1.000.000,- di akhir th 2007 dan awal 2008 kemarin juga sempat beliau nikmati. Dalam kesahajaannya, setengah berfalsafah beliau bercerita bahwa apapun yang terjadi dan sampai kapanpun akan tetap setia mengusahakan minyak nilam ini meskipun pada skala kecil-kecilan saja. Kecuali apabila minyak nilam sudah tidak laku lagi di pasaran. Saat ini beliau memang sudah membuat satu alat suling yg sama dan akan di-instal di sebuah desa di Kab. Garut.


Minyak nilam yang beliau hasilkan biasanya diambil sendiri oleh pengepul langganannya. “Biasanya sih pengepulnya telepon dulu, kalau memang ada minyak saya beritahu, tapi kalau tidak ada ya saya terus terang saja bilang tidak ada,” katanya. Di saat yang lain sibuk mencari pasar dengan harga yang lebih baik, bapak ini tetap setia dengan pengepul langganannya dan tidak mau ambil pusing apalagi mengeluh dengan huru-hara fluktuasi harga minyak. Sebab pada harga minyak nilam yang saat ini agak melesu, beliau tentu saja masih bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan. Beliau percaya bahwa pengepul langganannya tidak sedang mempermainkan harga kepadanya.


Begitu pula halnya dengan beberapa petani kecil binaannya yang paling banyak memiliki 1000-2000 pohon saja tetap setia supply bahan baku ke bapak ini. Meskipun di saat era “rebutan” bahan baku nilam beberapa bulan lalu banyak yang menawar daunnya dengan harga yg sangat tinggi, tetapi mereka enggan menjualnya selain ke penyulingan beliau. “Saya memang menerapkan keterbukaan pada mereka dan sering melakukan pendekatan sehingga secara tidak langsung akan tercipta ikatan emosional di antara kita.” Hingga saat ini, Pak X jarang kekurangan bahan baku selain karena memang kapasitas penyulingannya tidak besar dan memiliki kebun inti sendiri di sekitar rumah dengan luas sekitar 1 ha dan beberapa petani kecil binaan yang letaknya agak jauh dari rumah.


Ada tenaga kerja yang biasa menyuling nilam, tetapi terkadang beliau sendiri yang menyuling sambil bersantai di saung kecil di samping penyulingan dengan kursi/meja yang tertata rapi. Memang sengaja dibuat untuk menikmati suasana saat menyuling nilam sambil sesekali melihat ke dalam tungku pembakaran apakah kayunya sudah habis dan apakah apinya masih stabil atau tidak.


Setelah puas melihat-lihat penyulingan di rumahnya, kami diajaknya ke kebun nilam meskipun saat itu hari telah malam. Jaraknya hanya sekitar 200 m dari rumah. Dalam keremangan malam, aku masih sempat melihat pohon-pohon nilam yang siap panen. Ketika ditanya mengapa tidak dipanen saja, beliau menjawab sambil tertawa di sela-sela pematang kebun nilam, “Ini buat cadangan saja, kalau supply dari petani-petani binaan saya sudah agak menipis.” Kebun nilam yang Pak X kelola sendiri di sekitar rumah tersebar di 3 titik dengan luas sekitar 1 ha. Jika dilihat dari struktur daun dan batangnya, bisa dipastikan rendemennya cukup baik di atas 2,5%. Hal ini juga sempat beliau utarakan bahwa ketika menyuling 50 kg daun nilam diperoleh 1,4 kg minyak. Kadang-kadang menyuling 70 kg daun nilam dihasilkan 1,8 kg. Pak X mengaku bahwa dalam sebulan rata-rata menghasilkan minyak nilam sekitar 70 kg. Dengan harga minyak 2-3 bulan lalu sekitar Rp 600.000,- sudah dapat dihitung berapa omset Bapak ini per bulan. Sangat besar untuk industri kecil skala rumah tangga yang notabene beliau katakan dengan logat Sundanya yang kental,” Ah, ini mah cuma iseng-iseng saja di rumah, Pak Ferry”.


Banyak hikmah yang bisa aku petik dari kesahajaan dan kesederhaan Bapak ini. Setiba kembali di Garut dengan kendaraan milik beliau (yang disupiri partnerku selama ini, Mr. Syauqi) sekitar jam 11 malam, aku masih termenung dan menghayati setiap kata yang diutarakan Pak X ini. Hanya sesungging kalimat terucap, “CUKUP INSPIRATIF. SO INSPIRING!!”. Tidak grusa-grusu, santai, tidak terlalu ngoyo, dll. SLOW BUT SURE!! Atau ALON-ALON WATON KLAKON!!


Mudah-mudahan sharing tulisan ini bisa juga menginspirasi rekan-rekan pembaca yang mencoba berbisnis minyak atsiri untuk memulainya dari skala kecil terlebih dahulu sambil mempelajari lika-liku bisnis ini yang memang penuh intrik dan strategi. Dimulai dari 1 ha atau 2 ha kebun sendiri dan membina petani-petani kecil di sekitarnya, dengan penyulingan kapasitas 70 kg sudah cukup untuk menghasilkan omset seperti yang sudah Pak X lakukan selama ini. Fluktuasi harga dalam minyak atsiri (terutama nilam) sudah menjadi hal yang biasa. Yang penting adalah ketekunan, setia, kepercayaan, optimis dengan apa yang dilakukan, tidak terlalu nafsu/serakah, serta yang paling penting adalah tidak ikut-ikutan pada trend harga minyak atsiri tertentu. Ingat lho, mengelola bisnis perkebunan atsiri 1 ha dengan 5 ha permasalahannya akan berbeda, begitu pula untuk pengembangan luasan lagi hingga 20 ha, 50 ha atau 100 ha. Semakin luas, tentu kompleksitas permasalahannya semakin menggila. Oleh sebab itu, mulailah dari yang dirasa dapat terjangkau dahulu.