Wednesday, May 19, 2010

BIAYA USAYA TANI NILAM (HPP NILAM)

Dear all.... Sengaja saya posting di blog ini mengenai jalannya diskusi yang seru dan menarik perihal BIAYA USAHA TANI NILAM di milis atsiri_indonesia@yahoogroups.com sekitar 2.5 bulan yang lalu. Semoga bisa disimak oleh para peminat minyak atsiri sebagai bahan tambahan pengetahuan dan wawasan dari para praktisi minyak atsiri. Selamat membaca.PEMBUKA TOPIK DISKUSI

Salam....
Rekan2 Yth...
Mohon info.... berapa biaya usahatani nilam per hektar pertahun di daerah rekan2 ? Tolong infonya yang berasal dari petani/penyuling... bukan perusahaan... syukur jika sdh dalam bentuk analisi usahatani....minimal ada data biaya input, produktivitas dan mutu minyak nilamnya...
Pekan lalu saya ketemu rekan2 dari BRI Jawa Barat ...beliau minta cashflow/analisis usahatani nilam sbg bahan pertimbangan untuk pemberian kredit bersubsidi model KKPE untuk nilam.. saat ini sdh dinikmati petani tebu dg skim 13.25 % yg disubsidi Pemerintah sebesar 6.25%...
DAI sdh punya model analisis usahatani dari petani Cultiva.... baiknya kita juga punya data dari lokasi di luar Cultiva di berbagai daerah untuk melihat potret yg sesungguhnya.... berapa sih penghasilan yg diterima petani nilam dari usahatani mereka? Apakah masih jauh dari target Cultiva yg menetapkan income Rp. 20-25 juta/th atau rata2 Rp. 2 juta /bulan?
Terimakasih masukannya

Salam sukses
MR

Salam,
Pak Molide, saat ini saya sedang mencoba membudidayakan nilam, apa bisa dapat
analisa usaha tani petani cultiva versi DAI, supaya kami punya gambaran,
bagimana membuat analisa usaha tani yang benar.
Salam,
Marcus


Pak Molide Rizal,
Kelihatannya memang para pelaku tidak terbiasa membuat analisi usaha (trial & error?). Ataukah hanya mau sharing soal harga jual saja? Harga pokok kan rahasia?
Analisis usaha sudah banyak didiskusikan dan ditampilkan. Kesimpulannya: bervariasi pada tiap daerah.

Yang berani menerbitkan dalam buku (edisi luks lagi) adalah xxxxx Info Kit (Juni 2009) dijual seharga Rp80.000/buku...halaman 50 & 51...data diolah dari xxxxxxxxxxxx, pekebun & penyuling nilam di Yogya pada Mei 2009. BEP harga produksi tertulis Rp236.500/kg.

Pakai itu saja pak sebagai pembanding "resmi", diterbitkan dan (pernah) dijual di toko-toko buku dan mungkin sudah laku ribuan eksemplar.

Salam,
Arianto

Pak Rizal, informasi dari petani justru suka simpang siur. Mereka kasih info biasanya berdasarkan perkiraan, tidak berdasarkan ukuran yang telah dipastikan. Justru saya heran kenapa pak Rizal tidak mau info dari perusahaan? Malah maunya dari petani? Petani yang besar kan mungkin membentuk perusahaan juga :-).

Waktu saya pertama kali membangun alat suling dibantu kang Ferry, saya mengandalkan untuk membeli bahan baku nilam dari petani. Sy sempat mendatangi beberapa tempat/lokasi yang diinfokan sebagai sentra pertanian nilam. Memang betul di tempat2 tersebut cukup banyak bahan baku nilam. Bahkan salah satu tempat, diinfokan oleh petani setempat kepada saya, waktu itu dia bilang di kampungnya ada sekitar 200 Ha lahan nilam. Sekarang setelah saya berkebun sendiri, baru 10Ha, sedang siap-siap menuju 30Ha, ingat kepada informasi 200Ha itu jadi ingin tertawa. Kenapa tertawa? Karena saya nilai 10Ha kebun saya baru coba-coba awal saja menguji 'harga pokok' dan juga menguji tenaga teknis lapangan. Nah, ingat info 200 Ha berarti daya upayanya harus 20x dari yg sy lakukan untuk 10Ha; sedangkan petani yg ada di daerah yg bersangkutan yg punya modal tidak lebih dari 2 orang saja, selebihnya petani penggarap. Juga mesin sulingnya cuman ada 1 saja yang jalan dengan kapasitas 2x 50Kg. He he he, jangankan petani, pegawai perhutani saja juga tidak akurat. Pegawai perhutani menawarkan lahan 20Ha untuk saya sewa berkebun nilam. Sudah ada bangunannya loh, kata dia beriklan. Setelah kami ukur ternyata lahannya hanya 1,4Ha saja. Ha ha ha coba bayangkan beda jauh kan 20Ha dgn 1,4Ha.

Juga dengan info rendemen. Semua orang berdasarkan pada standar baku di buku-buku, yaitu 2,5%. Padahal kebanyakan penyuling hanya sampai 1,6% saja rendemennya, bahkan banyak yang di bawah itu. Tentu saja rendemen ini akan berpengaruh kepada penghitungan HPP (Harga Pokok Produksi) minyak nilam. Kalau rendemen memang stabil secara berkesinambungan 2,5% maka saya percaya bahwa harga pokok bisa di harga 230rb per Kg minyak nilam. Tapi coba ubah nilai 2,5% itu menjadi 1,6% atau 1,3%, maka HPP bisa melambung mendekati angka 300rb.

Saya sendiri selama menyuling pernah rendemen terendah 1,2% dan rendemen tertinggi 2,8%. Menurut pengamatan kami hal ini sangat dipengaruhi oleh teknik budi daya nilamnya. Kebanyakan petani menanam nilam secara tumpang sari di pegunungan dan tidak dipupuk sama sekali. Dengan pemupukan akan meningkatkan rendemen.

Sebaiknya pak Rizal mendingan deketin orang seperti pak Hega Bernoza yang sudah berkebun lebih dari 40Ha di Curup, Bengkulu. Coba tanya beliau berapa harga pokok bahan baku nilam dan berapa harga pokok minyak nilamnya.

He he he apa kabar pak Hega? Sekitar 2 bulan lalu, saya terserang flu ketika lagi dinas di kota Bengkulu. Lalu saya ke rumah sakit dekat saya menginap, eh pas lihat ke atas gedung ada tulisan "Graha Bernoza" he he he. Terima kasih saya sudah sehat kembali ;-)

Salam, Febi

Apa kabar pak Ahmad Hazairin,....

Setelah membaca email bapak, saya langsung cek system RS saya :),.... Semoga bapak Ahmad Hazairin mendapatkan pelayanan yang baik di RS kami.

Mengenai hpp, bukannya kami tidak mau berkontribusi. Tapi mengingat notifikasi pak Rizal beliau hanya membutuhkan info dari petani,.. sehingga kami tidak merespon. Info ini saya rasa bukan sesuatu rahasia yang perlu kami simpan pak, insya Allah dalam waktu dekat detail breakdown hpp perkebunan di Curup akan kami tampailkan di web ataupun di facebook AAI.

Sekilas info mengenai HPP bisa kami informasikan bahwa HPP minyak nilam kami secara rata-rata berada pada kisaran Rp 300.000- Rp 310.000. HPP ini dengan hasil panen 15 ton perkali panen dan dipanen dalam 2 cutting. dengan rendemen basah ke oil di kisaran 0.45%. Sebagai produsen kami hampir tidak pernah menghitung rendemen daun kering ke oil, karena tidak ada kepentingan disana. Tapi sebagai gambaran umum rendemen kering ke oil yang pernah kami hitung berkisar 1.3%-2%.

Saat ini kami sedang intensive riset untuk meningkatkan produktivitas agar bisa mencapai hpp di bawah angka saat ini. Dua hal yang menjadi perhatian kami yaitu meningkatkan rendemen, dan peningkatan bobot perumpun. Fokus utama adalah direndemen, karena kenaikan rendemen tidak selalu diikuti dengan kenaikan biaya produksi. Hal ini berbanding terbalik jika dibandingkan kenaikan bobot yang hampir pasti diikuti dengan kenaikan biaya untuk pola budidaya yang lebih intensive.

Dan benar seperti yang dituliskan pak Febi, JIKA rendemen bisa mencapai rata2 di 2.5% HPP di 230.000 sangat mungkin dicapai pak. Jadi jika ada teman-teman yang pernah berpengalaman menghasilkan rendemen stabil di 2.5% di musim apapun dan di panen keberapapun mohon infonya agar bisa tukar pengalaman.

Demikian informasinya,...semoga bermanfaat

Note : Sedikit ralat pak Feby, jika dengan rendemen 2.5% HPP 230.000 maka jika dihitung secara matematis, jika rendemen turun ke 1.6% dan 1.3% maka hpp bukan mendekati 300rb..... tapi bahkan melewati 350rb utk 1.6% dan diatas 440rb untuk rendemen 1.3% :).

Regards,
Hega Bernoza

PT AgriAtsiri Indonesia
Plaza Bapindo, Citibank Tower, 20th floor
Jl. Jend. Sudirman Kav. 54-55
Jakarta 12190

Pengen urun rembug juga. Sebelumnya SETUJU dengan Kang Febi. Menurut pengamatan saya, HPP versi petani secara real agak sulit kalau kita lakukan pendekatan kalkulasi matematis. Karena banyak data yang sifatnya hanya perkiraan saja. Misalnya, mereka ngakunya punya lahan 1 ha, padahal kenyataannya kalau kita ukur dengan metoda2 kuantitatif tidak sampai 1 ha (mungkin 0.7 atau 0.8 ha saja). Begitu pula jam kerja mereka yang tidak tentu. Kalau sedang rajin bisa seharian penuh di kebun, tapi kalau lagi malas2an malah tidak ke kebun sama sekali. Begitu pula dengan pemupukan dan perawatan. Ada yang memupuk kebunnya, ada yang dibiarkan sama sekali. Ada yang dirawat dan disiangi atau bahkan disemprot pestisida, ada pula yang setelah ditanam langsung ditinggalkan dan kembali lagi setelah saatnya akan dipanen. Ada yang dibuatkan bedengan2, ada pula yang dibiarkan rata. So………….?? Kondisi ini juga menimbulkan konsekuensi pada biaya operasional yang berbeda2 tergantung pada karakter dan budaya masyarakat petani tersebut. Kalau sudah dikelola professional dalam sebuah perusahaan, saya yakin semuanya bisa terukur dengan baik seperti yang dilakukan Hega lewat AAI-nya. Apa yang disampaikan Hega dengan HPP yang sepertinya tinggi banget, bisa dimengerti sebab pada tataran perusahaan juga harus diperhitungan faktor tax (pajak) serta penyusutan alat, perlengkapan, bangunan, dll. Meskipun tentunya dengan HPP yang tinggi ini dengan pengelolaan yg professional dan potensi yang ada sangat dimungkinkan untuk melakukan ekspor ke luar negeri sehingga tidak menjual dengan harga konvensional (baca= harga eksportir atau pengepul).

Juga ketika kita bicara masalah pendapatan hasil nilamnya yang tentunya berbeda2 tergantung pola tanam, kondisi agroklimat, dan budaya petani. Kalau petani memanennya dipapas habis hampir menyentuh tanah bahkan dicabut hingga akar-akarnya ikut ditimbang, maka akan diperoleh hasil terna basah per pohon yang cukup banyak. Tapi kalau panennya disisakan 30-40 cm di atas tanah sesuai keinginan penyuling, maka hasil terna basah per pohon menjadi lebih sedikit.

Harga daun nilam basah juga berbeda2 satu daerah dengan daerah lainnya. Harga daun nilam di satu kabupaten di Jawa Barat kadang juga berbeda dengan Kabupaten lainnya karena rendemen minyaknya bisa jadi berbeda (Catatan: bagi yang mengetahuinya). Bahkan satu kabupaten pun hasilnya rendemennya bisa berbeda dan ini kami alami sendiri. Kalau saya beli daun nilam dari wilayah X yang saya tahu rendemennya rendah karena…bla…bla..bla, maka harganya akan kami bedakan dengan nilam dari daerah Y yang menurut pengalaman kami rendemennnya bagus. Pengalaman kami menyuling, di Jawa Barat ada yang cuma menghasilkan 1%, ada pula yang bisa sampai 3.5%. Pernah iseng nyuling cuma daunnya saja dan dapat rendemen 5%. Perbedaan rendemen itu banyak sekali faktornya yang kalau kita kerucutkan akan menjadi 2 faktor signifikan yaitu kondisi lahan dan budaya petani. Meskipun teknis penyulingan juga berpengaruh, tapi di sini tidak saya sebutkan dulu karena dalam menguji kami menggunakan alat suling yang sama, tenaga penyuling yang sama, serta tipe kayu bakar yang sama pula (besar-kecilnya nyala api bisa mempengaruhi rendemen, lho). Memang betul apabila nilam ditanam di bawah teduhan dan lokasinya sangat tinggi rendemen akan menukik tajam. Hal ini ditunjukkan dengan daun yang lebar dan tipis. Ditambah lagi budaya panen petani yang panen sampai ke batang2 bawah yang besar-besar yang tentunya sangat berkontribusi terhadap penurunan rendemen. Kadang kami memperoleh bahan baku nilam yang daunnya tebal dan kecil dengan komposisi batang/daun cukup kecil yang tentunya menggembirakan penyuling karena akan mendapatkan rendemen yang bagus. Itu yang kami alami di Jawa Barat.

Beda lagi kondisinya dengan teman2 kita di Aceh atau Sumatra Utara. Kebetulan pada satu kesempatan instalasi alat suling di kedua daerah tersebut, dihasilkan rendemen yang sangat baik yaitu 2.5 – 3%. PA-nya sangat tinggi yang ditandai dengan kehadiran minyak berat (orang sana bilang minyak hitam) yang jumlahnya sekitar 20-30% dari total minyak yg dihasilkan. Setelah saya tanyakan bagaimana cara budidaya mereka, jawabannya sangat sederhana. Mereka hanya buka lahan (kadang lahan hutan atau lereng2 pegunungan), bibit stek langsung ditancapkan ke lahan (tanpa disemai dulu dalam polybag) lalu ditinggalkan sampai saat panen tiba. Bahkan meskipun nilamnya ditanam di bawah teduhan, rendemennyapun tidak serendah yang terjadi di Jawa Barat. Saya dengar dari teman-teman di Sulawesi Selatan juga demikian (rendemen tinggi dan PA tinggi). 1-2 bulan ke depan saya akan “melongok� potensi minyak atsiri di daerah sana. Mudah2an ada yang bisa saya share ke milis ini.

Yah, bicara rendemen minyak nilam (dan minyak atsiri pada umumnya) memang tidak ada habisnya. Pokoknya banyak tergantungnya lah. Antara satu penyuling di satu daerah dengan daerah lainnya tidak bisa dibench-mark begitu saja. Jadi agak repot untuk mengambil satu nilai acuan tertentu, kecuali kalau kita mengembangkan skala perusahaan dengan lahan puluhan ha (atau ratusan ha??) yang semuanya sudah ada SOP-nya. Biasanya saya sarankan kepada teman2 pemula utk mengambil nilai acuan rendemen 2% basis kering. Upsss…. Masalah tingkat kekeringan bahan ini juga bisa berbeda2. Contoh kasus yang disampaikan oleh Hega yang mengatakan rendemen 0.45% basis basah dan rendemen kering rata-ratanya sekitar 1.8%. Artinya penurunan bobot dari basah ke kering sekitar 4 kali. Apakah kalau dikeringkan sampai 5 kali akan menghasilkan rendemen 2.25%? Mungkin Hega bisa memberikan pandangan di sini.

Menurut literatur, pengeringan nilam dengan cara pelayuan bisa memberikan rendemen yang lebih tinggi. Secara nyata juga demikian, kebetulan pernah coba juga. Tapi secara teknis apabila tiba2 dapat pasokan bahan baku puluhan ton dalam sehari, sementara sarana utk pengeringlayuan itu tidak ada maka jalan satu-satunya ya dikeringkan di atas sinar matahari sampai kering supaya cepat. Literatur-literatur atau makalah2 ilmiah memang memberikan kondisi-kondisi yang cukup ideal. Kreativitas dan tantangan kita sebagai entrepreneur lah yang diuji utk mencoba mengimplementasikan apa yang sudah dihasilkan teman2 peneliti-ideal pada tataran praktis-komersial.

Sekedar cerita saja; 3 minggu lalu ada seorang teman sedang penelitian penyulingan nilam untuk tesis S2-nya dan minta bahan baku nilam kering kepada saya. Dia minta yang daunnya banyak dan saya ikuti apa yang dia minta dengan memilih-milih daun nilam kering yang daunnya sangat banyak. Anda bisa bayangkan, apa jadinya apabila hasil penelitian teman tersebut diterbitkan dalam jurnal atau prosiding seminar dan dibaca oleh kawan-kawan pemula yang ingin berbisnis minyak nilam. Kawan2 pemula tadi akan menghitung2 dan hasilnya……..woww… sangat menarik dan akan cepat kaya raya (di atas kertas). Padahal dia belum tahu kondisi real yang terjadi di lapangan seperti apa.

Kesimpulannya : perhitungan HPP budidaya nilam dengan data real di suatu daerah (titik tertentu) perlu dikaji ulang apabila hendak dipakai untuk daerah lainnya. Agaknya setiap titik atau daerah tertentu yang dianggap sebagai sentra nilam perlu dibuatkan HPP sendiri-sendiri…hehe. Tugas siapakah gerangan?

Mungkin ada pandangan lain dari teman-teman.

Salam,

A.D.A. Feryanto


Se7 dg urun rembug yang bermanfaat dan realistis dari kang Ferianto...pasti bermanfaat bagi semuanya...
Bahkan di perusahaan besar dengan menggunakan sistem teknologi informasi detail dan terpadu seperti SAP pun menentukan HPP selalu menjadi perdebatan tiada habis (penentuan asumsi & parameternya)...

Yang penting: disiplin mencatat semua pengeluaran dan pada akhirnya akan tahu HPP (yg berfluktuasi)...selain tentunya terus berupaya agar efisien & efektif dalam beroperasi (baik budi daya maupun penyulingan).

Prognosa HPP ditentukan (menurut saya) sebaiknya memang spesifik per entitas tertentu...bisa kelompok tani & penyuling di suatu daerah, pada jangka waktu tertentu...bisa juga oleh koperasi (kalau koperasinya berjalan efektif) dsb...ada baiknya kelompok2 itu mulai sadar menjadikan dirinya badan hukum shg bisa memanfaatkan skema pinjaman dg bunga rendah...tentunya (ideal) dg "kontrak" jaminan pembelian dari pembeli yg menyebut harga tetap ataupun "range" yg disepakati kedua belah pihak....jadi win-win..

Demikian urun rembug saya....

Salam,
arianto

Dear All,
Yang saya tahu (dari konsep Cultiva), Rp2 juta / bulan / Hektar...sebagai pendapatan petani setelah dipotong berbagai ongkos budidaya...dari asumsi panen per tahun 3X menghasilkan pendapatan sekitar Rp24juta/tahun/Ha...sudah jauh lebih baik dari komoditi tanaman semusim populer spt jagung/tebu/padi namun mungkin masih di bawah beberapa jenis sayur2an...

HPPnya tentu akan bukan Rp230ribu/kg..akan sangat bervariasi tergantung berbagai asumsi rendemen serta parameter-parameter yg ditetapkan/disepakati di tiap daerah...2 juta per bulan per Ha hanya acuan komoditi nilam ini layak dikerjakan...

Mohon dikoreksi kalau salah...

Dalam pengamatan banyak pihak yg berpengalaman...sistem tumpang sari dan rotasi nampaknya paling cocok...dan kalau tumpang sari kan harus dihitung juga hasil panen tanaman selanya...

Memang tiada habisnya ber"hitung" mengenai ini...

salam,
Arianto

Salam sejahtera rekan2 semua,

Saya sepakat dengan pandangan dan pengalaman Pak Febi, bahwa pemberian
pendapatan Rp. 2 jt untuk petani akan memberikan shock income untuk mereka dan
belum tentu membawa hasil yang baik. Tapi disini saya hanya mengamini apa yang
Pak Rizal kemukakan bahwa "DAI sdh punya model analisis usaha tani dari petani
Cultiva.... baiknya kita juga punya data dari lokasi di luar Cultiva di berbagai
daerah untuk melihat potret yg sesungguhnya. ... berapa sih penghasilan yg
diterima petani nilam dari usaha tani mereka? Apakah masih jauh dari target
Cultiva yg menetapkan income Rp. 20-25 juta/th atau rata2 Rp. 2 juta /bulan?"

Saya amini juga informasi Pak Febi dan Pak Ferry, bahwa petani kita masih
"ngawur" dalam melakukan perhitungan biaya, bahkan menurut Bpk-Bpk berdua,
mengetahui luas lahan mereka saja masih juga "ngawur" sehingga sulit bagi mereka
untuk menghitung HPP produk mereka. tapi sekali lagi, kita coba melihat dari
sudut pandang mulia DAI dalam program cultivanya untuk mendorong petani
mempunyai income rata2 Rp. 2. juta/bln.

Saya juga sependapat dengan Pak Arianto bahwa perusahaan besar sekalipun sulit
menentukan HPP, apalagi kalau menyangkut barang hidup yang sangat tergantung
dari kondisi alam. Tapi balik lagi, bagaimana kalau kita pake parameter2 yang
sudah dilontarkan beberapa rekan di group ini untuk mencoba menghitung analisa
usaha tani petani nilam, sehingga didapat HPP yang ideal dengan pendapatan
petani yang ideal sesuai dengan program cultiva DAI, dan menempatkan petani
sebagai subyek, bukan obyek, sehingga ada keseimbangan antara pedagang yang jago
ngitung untung dengan petani yang bertaruh untung rugi dari kerja kerasnya.

Saya coba menghitung begini, mohon dikoreksi oleh rekan2 yang lebih
berpengalaman:

Asumsi:

1 petani sanggup mengelola lahan seluas 5.000 m2, sesuai dengan informasi Pak
Hega dan pengamatan saya sendiri di kebun saya. sehingga setiap petani mengelola
10.000 phn nilam. Pendapatan petani di usahakan Rp. 2.jt perbulan, pendapatan
perhari Rp. 80.000,- jika bekerja 25 hari sebulan.

harga bibit Rp. 1.000,- perpohon, dengan umur efektif pohon 3 tahun, panen
pertama umur 6 bln, lalu selanjut setiap 3 bln, sehingga bisa dipanen 11 kali
dan setiap pohon mengasilkan rata2 1 kg, tolong Pak Hega inform apakah data
panen ini valid, karena saya baru menanam 8 bulan, baru panen 1 kali, inipun
masih saya gunakan untuk pembibitan, tapi kira2 memang dapat 1 kg per pohon.

Setiap selesai panen dipupuk 1 kg kompos. Pohon di tanam dalam bedengan
berukuran 1 x 10 m dengan jarak 60 cm, sejumlah 33 phn per bedengan, biaya
pembuatan bedengan adalah Rp. 30.000,-. per bedengan

Dengan data asumsi seperti tersebut diatas, maka untuk mendapatkan penghasilan
yang terus menerus setiap hari (25 hari perbulan) dan efektif merawat kebunnya
setiap hari kerja (bukan tanam lalu ditinggal), maka setiap hari di panen 133
phn (10.000/3/25), dengan hasil 133 kg. Maka perhitungan nya sebagai berikut:

pendapatan perhari : 80.000 / 133 = 601.50
pupuk 1 kg /periode panen = 400.00
biaya pembuatan bedengan : 30.000 / 11 / 33 = 82.64
biaya sewa lahan : 2jt x 3thn / 11 / 10000 = 54.55
harga bibit : 1.000 / 11 = 90.91

Total harga per kilo = 1.338,69

Dengan asumsi daun kering adalah 20 % dari daun basah (Pak Ferry dan Pak Hega,
mungkin bisa mengoreksi berdasarkan pengalaman Bpk.) maka dengan rendemen:

2.50 % maka HPP adalah Rp. 267.738,77
2.25 % maka HPP adalah Rp. 297.487,52
2.00 % maka HPP adalah Rp. 334.673,46

Semua harga HPP diluar biaya penyulingan, yang katanya adalah Rp. 75.000 per kg
minyak, (Pak Ferry dan Pak Febi, lebih kompeten ngitungnya nih). dengan biaya
suling Rp. 75.000 per kg minyak, saya yakin pekerja penyulingan cuma dapat
penghasilan sebesar UMR dan masih menggunakan kayu bakar yang nota bene merusak
lingkungan :-) saya juga akan jadi salah satu yang ikutan ngerusak lingkungan.
Mungkin Pak Ferry dan Pak Febi atau Pak Hega bisa sharing analisa usaha
penyulingan atau biaya penyulingan.

Demikian urun rembug saya, semoga bermanfaat, dan benar, saya juga masih harap2
cemas dengan usaha tani ini. Pak Rizal, kalau menurut cultivanya DAI, berapa HPP
nya yang ideal?. Informasinya bagi2 dong Pak, supaya kami yang diluar program
cultiva bisa bekerja dengan baik juga, atau seperti saya kutip tulisan Pak
Arianto "Harga pokok kan rahasia?"

Kalo saya baca pendapat, harga perkilo minyak Rp. 230.000 / kg sudah cukup, saya
jadi ketawa sendiri. Kalo harga begini, memang cukup untuk petani, bukan cukup
penghasilannya tapi cukup sulit hidupnya :-), pedagangnya cukup besar untungnya
:-), tinggal dalam program cultiva di DAI, banyakan mana, banyak pedagang atau
banyak petani :-).

Sekali lagi, pola pikir saya dalam menghitung HPP diatas adalah menempatkan
petani sebagai Subyek, bukan Obyek. kalau petani jadi Obyek, maka perhitungannya
dibalik. Harga eksport sekian, eksportir mau untung sekian persen, maka beli
dari pengepul sekian. pengepul mau untung sekian, maka beli dari penyuling
sekian, penyuling mau untung sekian, maka nasib petani ditakar untuk hidup
secukup nya. Sekali lagi juga nih, DAI mau duduk disebelah mana nih, supaya
penentuan harga cultiva saling menguntungkan baik untuk petani maupun "champion"
yang menurut saya termasuk golongan "pedagang" ya pak Arianto :-)

Mohon maaf jika ada tulisan saya yang tidak benar dan kurang berkenan buat
rekan2 semua.

Salam,

Marcus


Pak Marcus,
sedikit koreksi, Rp20-25juta/Ha/bulan...menurut banyak info sudah lebih menarik dari budidaya jagung/tebu/padi....jadi kalau lahan 5000m2 ya dibagi 2 pak...

permasalahan utamanya adalah tiada informasi yang lengkap dan akurat mengenai situasi saat ini: berapa Ha di seluruh Indonesia lahan yg ditanami nilam? Ada yg bisa kasih gambaran?...berapa minyak nilam yg disimpan di penyuling, spekulan murni (bukan bidangnya tapi ikutan nimbun), pengumpul, eksportir, pemakai?...ada yg bisa kasih gambaran?...kalau ternyata "figure"nya cukup "besar"?

harga yg di"goreng" spekulan menjadi tinggi akan mengakibatkan petani berbondong2 menanam nilam...pada saat panen...jatuh terjerembab...hanya segelintir pemain yg pegang "uang" shg bisa "menimbun" yang akan menikmati "kenaikan" harga...sebagian besar akan "terjerembab"...

oleh karena itu...saya (pribadi) sering prihatin kalau ada pihak2 yg meniupkan angin surga...(dan merasa terpanggil untuk meluruskannya dg memberikan fakta dan prediksi yg lebih masuk akal berdasar pendapat org2 yg berpengalaman)...dan kalau ada yg berani nulis dalam buku cetak spt xxxxx Info Kit: HPP Rp230ribuan/kg...mungkin ada benarnya juga untuk daerah tsb (Jogja?)...

kalau ditanya kecenderungan (masih lemah)...moga2 tidak menimbulkan penafsiran yg macam2: akibat kenaikan harga yg terlalu tajam di 2007-2008 (sampai > 4X lipat)...para pemakai (yg besar2: baca konsumsi ratusan ton per th) mengeluarkan perintah mengurangi dosis pengunaan minyak nilam separuhnya...lalu ditambah dg krisis di Eropa & Amerika...akibatnya, permintaan dunia lemah...untuk membalikkannya tidak mudah...formula2 yg sudah terlanjur diubah dan disosialisasikan ke pelanggan mereka (baca perusahaan MNC pembuat sabun/deterjen/shampoo dll)...tidak serta merta bisa diubah balik lagi dg menaikkan dosis minyak nilam dalam formulasi wewangian tsb...diperlukan waktu bertahun2 untuk meyakinkan buyer/perfumer untuk memakai m. nilam dalam formula baru dg dosis yg seperti semula...

jadi terlepas dari berapa pun biaya usaha tani...akhirnya hukum supply & demand yang berlaku...

oleh karena itu, dalam menjalankan usaha tani-penyulingan nilam ini...yg digagas oleh DAI sebenarnya untuk mengurangi praktek spekulasi yg tidak sehat bagi komoditi ini dalam jangka panjang...rantai petani-pengguna tidak terputus dan ada solusi win-win...

kalaupun ada pengumpul di sini...tujuan cultiva bukan meniadakan pengumpul...tetapi justru merangkul...karena tertulis bisa koperasi bisa swasta (dlm hal ini pengumpul)...cuma memang diarahkan untuk tidak "spekulatif" dalam praktek...

saat ini, saya mendengar ada pengumpul yg masih menahan puluhan ton minyak nilam yg setiap saat dia butuh uang...akan digerojog ke pasar...(bahaya kan?...kelompok org2 ini yg berharap harga naik tinggi, sesaat)

sayang...dan memang masih banyak sekali kendala di sana sini dalam pelaksanaan program ini...(menurut saya: program cultiva ada pada tingkat konsep/gagasan...implementasi mestinya bervariasi dan bisa diadaptasi oleh banyak pihak)...

salam,
arianto
(bukan pedagang m. nilam, hanya karyawan perusahaan manufaktur...kategori di rezim Tokugawa: buruh dari pengrajin?)

Pak Arianto,
Satu petani gak mungkin sanggup ngurus lahan 1 ha sendirian, kalau dia punya lahan 1 ha, pasti dia pake buruh tani. Kalau dia pake 2 buruh tani dengan bayaran 40rb perhari, maka dengan HPP yang sama dia punya penghasilan 2 jt juga per bulan per ha Pak.

Jadi mau diputer-puter gimana aja, dengan rendemen 2.5 % dan semua parameter seperti yg saya sebut di email sebelumnya, mustinya HPP minyak nilam di harga 350 rban. Gak jauh beda dengan hitungan Pak Hega.

Ini kalau nilam mau dibudidayakan secara baik dan petani nilam punya pendapatan yang baik.

Kalau penyuling ambil profit 15 %, maka harga jual ke eksportir mustinya ya kira2 400 rban. Nah eksportir masih untung gak tuh kalo beli segitu? Mungkin Pak Arianto punya informasinya. Mustinya sih masih ya Pak.

Salam,

Marcus
Yg lagi belajar jadi petani dan pengrajin minyak nilam


Mantra_mantra_jingga@yahoo.com

Pak marcus, sekedar info di tmpat kami (subang) biaya tenaga kerja petani pnggarap Rp 25rb per hok utk pria (30rb kl dtmbh rokok+kopi). Dan bagi wanita Rp 20rb per hok dgn pkerjaan yg lbh ringan. Msh jauh lbh baik dr UMR kab subang...:)

Salam,

-ferry-


Dear All,
Yang akan terjadi hukum alam...
Tanaman atsiri dan penyulingan minyak atsiri mungkin hanya layak dikembangkan di daerah/negara yang (mohon maaf) "minus"/"terpencil"...seperti halnya minyak atsiri di Madagascar (salah satu negara termiskin di dunia), Haiti (akar wangi), India, Srilanka...lalu propinsi Yunnan, China yg berbatasan dg Myanmar & Vietnam...(daerahnya cukup jauh dari bagian yg makmur di China (pantai Timur)...

Ditambah...budaya/etos kerja masyarakatnya.
Kalau punya tanah di dekat jalan besar/kota besar...mungkin kurang cocok untuk budidaya tanaman atsiri...lebih cocok tanaman hias kali (?)

Sering orang secara naif menganggap komoditi atsiri (karena sebagian pemakaian akhirnya untuk parfum/fine fragrance)...otomatis bisa dijual "mahal"...kenyataannya tidak seperti itu....sebagian besar pemakaiannya untuk industrial fragrance...coba belanja shampoo/sabun...murah kan?

Ada memang minyak2 eksotis yang mahal...kalau harganya tinggi sekali...ya pemakaiannya kecil...yang ribuan dollar per kg ada...tetapi konsumsi seluruh dunianya cuma beberapa ton bahkan ratus kg pr th saja....jalur pemasarannya sempit dan butuh "trust" tinggi...tdk mudah tembus & memulai bisnisnya...

Kalau mau pemakaiannya luas...ribuan ton per th...(menurut saya) adalah minyak2 berharga di bawah USD30/kg...

Jadi kalau nilam di Indonesia sudah terlalu "mahal"...akan migrasi ke (saya tidak tahu...mana & kapan itu akan terjadi) mungkin India atau Afrika? Atau akan perlahan ditinggalkan...dicari alternatif lain yg lebih "workable". Bahkan sudah dikembangkan (saya kurang paham teknisnya) teknologi yg bisa men"cangkok"kan patchouli alcohol dkk pada tanaman tembakau...

Exportir itu setahu saya tidak selalu untung...malahan sering babak belur dalam bisnis m. nilam karena fluktuasi harga yg tajam...cuma karena diversifikasi bisnis dan strategi jangka panjang saja yg membuat sebagian survive & sukses....(banyak lho eksportir yg gulung tikar)...

Spekulan (ada di berbagai lapis...bahkan sampai di luar negri) juga tidak selalu untung...tetapi dg berbagai cara (kalau perlu cara kotor memainkan isyu) akan berusaha mengambil keuntungan sesaat...

Jadi kalau ada isyu, keuntungan eksportir terlalu tinggi...silahkan konfrontir dan buktikan sendiri...atau dipersilahkan jadi eksportir sekalian...dunia sudah "datar"...komunikasi sudah instant...bisa twit...harga m. nilam di belahan bumi ini tingkat penyuling dalam bbrp detik diketahui oleh pemakai dibelahan bumi lain...

Kalau saat ini HPP m. nilam yg disuling pak Marcus Rp350ribu/kg...kelihatannya perlu dievaluasi lokasi penanamannya sudah cocok belum? teknik budidaya dan penyulingannya sudah efisien & efektif belum? bibitnya? dsb...Kenyataannya pada pertengahan 2009 ada yg dg gagah berani menerbitkan buku & menulis HPP Rp230ribuan/kg...di lokasi yg menurut saya tidak terpencil dan dekat kota besar lagi...sumbernya bergelar S2 bisnis lagi (bukan orang yg tdk bisa berhitung).

Rgds,
arianto


Pak Arianto, seperti yang Bpk pernah tulis, kita coba fokus pada satu jenis dulu aja dalam membicarakan harga atau diskusi harga. Dalam hal ini kita diskusi soal minyak nilam, kalo yang dijual cuma kemiskinan rasanya bisnis jadi gak bener ya. Beberapa negara, saya yakin sudah mulai menerapkan fair trade system, dimana mereka menghargai tenaga kerja bukan cuma dari murahnya.

Harga minyak juga mustinya bukan hanya tergantung lokasi, dalam menghitung HPP yang lalu, saya juga tidak menggunakan parameter daerah, saya hanya mengunakan parameter income yang diharapkan DAI bisa diterima petani supaya mereka bisa hidup pantas, lalu parameter panen dan rendemen yang wajar.

Sebagai "buruh pengrajin" di perusahaan manufaktur besar, mungkin Bapak bisa bantu kami yang kecil2 ini, dengan menginformasikan, berapa sih harga pasaran internasional yang berlaku? Supaya gak simpang siur ekspektasi petani. saya sendiri menilai kalau harga perkg nya 1 jt an, juga gak masuk akal. Apa benar kira2 di kisaran USD 50 - USD 55 per kg. Mungkin Pak Rizal juga bisa bantu informasi ini.

Sekali lagi, harga HPP yg saya coba hitung, gak jauh2 beda dari harga yang dihitung Pak Hega, bukan begitu Pak Hega?

Oh ya, petani udah terbuka nih untuk itung2an HPP, gimana yang penyuling, tolong bantu dong, ngitungnya gimana biaya penyulingan.

Kalo HPP 230 rb, sekali lagi, petaninya pasti susah Pak, yang dijual bukan minyak nilam tapi kemiskinan, apa kita mau terus jual kemiskinan?

Kalo karena harga mahal, lalu konsumsi dikurangi, sy pikir sebaiknya begitu, lebih baik jual sedikit dengan harga wajar daripada terus menerus kerja rodi seperti jaman masih dijajah, lha udah merdeka 65 tahun koq masih terus menjual kemiskinan, apa lagi kalo dibandinginnya sama negara miskin lain :-) kapan mau maju bangsa kita.

Saya yakin, Pak Rizal dan DAI punya niatan yang mulia, makanya mau coba mencari informasi mengenai HPP wajar. Kalau harga stabil, adil buat semua stakeholder, mulai dari petani, pengusaha perkebunan, buruh penyulingan, pengusaha penyulingan dan eksportir, pasar pasti menyerap, lha kita masih penghasil terbesar lho.

Ayo bergandengan tangan, majukan Indonesia tercinta.

Salam,
Marcus


Pak Marcus,

Kalau saya pribadi (pendapat yg pernah saya sampaikan terbuka di ISEO Okt 2009)...harga internasioanl m. nilam saat ini yang ideal adalah USD40/kg...dg 2 alasan:

1. tidak akan memicu over supply
2. tidak akan membuat India gencar menanam & mengambil alih produksi m. nilam
3. masih memungkinkan untuk dipakai luas di berbagai aplikasi/formula

Tentunya nilai ideal tsb masih akan bergerak "naik" sesuai inflasi "dunia" maupun nilai tukar USD thd mata uang lain...dan masih bisa diperdebatkan...hanya sekedar pendapat pribadi saja...

salam,
arianto


Saya menjual langsung ke enduser di Jerman terakhir kali 45USD/Kg. Tapi pelanggan sy ini enduser kecil. Dia pesan hanya 20Kg dan sy kira dia akan pesan lagi dalam waktu yg masih lama. Dia biasanya beli dari pedagang besar di Jerman. Jadi memang kayaknya sulit untuk pengekspor besar saat ini kalo harga di atas 45USD.

Salam, Febi

Menarik nih Pak "masih berharap/menunggu harga jatuh ke USD34/kg...( memilih tdk beli dulu)." Sy yakin kalau kita semua mau bergandengan tangan, harga stabil bisa kita dapat, bukan menjual di harga jatuh.

Mudah2an karena Pak Arianto sekarang didaulat membantu DAI pada "komisi pengembangan" kami petani nilam juga bisa berkembang :-)

Saya belum pernah coba, tapi beberapa komoditas, ketika melakukan penawaran, mereka mengusung "fair trade system", ternyata mereka bisa mendapat harga yang lebih bagus diantaranya Kopi dari Aceh, karena konsumen di Eropa juga ingin adanya peningkatan kesejahteraan di kalangan petani, bukan hanya pabrikan yang mendapat keuntungan besar sementara petani sulit.

Mengenai kemungkinan India mengambil alih, memang sangat mungkin, tapi ketika mengikuti kongres di surabaya, saya ingat, ada informasi bahwa bibit yg sama ditanam di tempat yang berbeda, hasilnya beda. Saya yakin kualitas nilam kita tetap lebih bagus dari yg negara lain.

Mungkin akan sangat berguna jika kami bisa dibantu pengetahuan penyulingan yang baik dan efisien. Kami akan mencoba membudidayakan tanaman dengan lebih baik dan efisien, bukan membayar murah tenaga kerja kita. Biarlah kemajuan ini bisa kita nikmati bersama. Masing2 ambil untung sesuai porsinya.

Salam,

Marcus


Pak Marcus,
Memang tidak akan ada habisnya membicarakan harga...kita stop sampai di sini saja.
Saya hanya ingin memberi informasi yg senyata-nyatanya walaupun "pahit". Pasar/ pemain di India menunggu...pembeli besar menunggu...kuat-kuatan...level of inventory mereka "besar-besar"...

Para penyuling di Aceh/Nias/Sumatera bagian Utara telah memulai penyulingan nilam ini beberapa generasi walaupun dg sistem nomaden, penyulingan berpindah pakai drum bekas (dg rendemen bahkan banyak yg di atas >2.5%)...."bau khas" m. nilam Indonesia sudah terlanjur dipakai di banyak formula shg perfumer (jumlahnya ratusan, mungkin ribuan orang) sudah terlanjur terbiasa dg bau m. nilam Indonesia...khususnya Sumatera bagian Utara...Kira-kira awal 2000-an waktu GAM lagi galak-galaknya...terdapat eksodus penyuling Aceh ke Bengkulu dan sekitarnya...shg sentra bergeser ke selatan...bau-nya sedikit lain...dan butuh beberapa th untuk perfumer membiasakan diri dg bau baru (campuran utara & selatan)...lalu beberapa th terakhir berkembanglah Jawa...entah....kelak akan bergeser ke mana lagi? Mudah-mudahan masih tetap di Indonesia...

Memang ada pendapat "tidak mungkin" negara lain menggantikan Indonesia sebagai produsen utama karena faktor di atas...tetapi sebaiknya kita tidak takabur...dan ber"mimpi" kalau kompak para pemakai akan tetap beli walau dg harga semahal apa pun...pergeseran "bau" adalah masalah pembiasaan saja...Dengar-dengar, minyak nilam India sudah mulai merebut hati sebagian pemakai dalam negri mereka...meskipun banyak dari mereka yg fanatik dg m.nilam Indonesia...faktor harga bisa membuat mereka beralih (ada batas ongkos yg bisa mereka bayar untuk pemakaian m. nilam dalam aplikasi dupa misalnya...)

Memang benar ada usaha untuk "fair trade"...namun mohon diingat...m. nilam tidak dikenal konsumen akhir...kalau kopi kan diminum konsumen...jadi bisa diiklankan...(dalam label)...itupun (kopi yg "fair trade") cuma sebagian "kecil" dari keseluruhan bisnis kopi...>70% kopi Indonesia di hasilkan di Sumatera bagian Selatan (bukan Aceh).

Omong2 soal kopi (sekalian promosi)...perusahaan tempat saya bekerja memproduksi coffee extract (sejak 1992, Halal, dan sertifikasi ISO22000 HACCP)...siapa yg sedang/mau berbisnis minuman/makanan yg butuh coffee extract...bisa hubungi saya (japri).

salam,
arianto


Diskusi yang sangat seru sampai - sampai membahas kemiskinan.........

Sebagai sesama alumni PMBS saya mengerti pola fikir pak Arianto akan kondisi industri atsiri Indonesia. Tapi mungkin sedikit saya ralat pak,...yang akan terjadi bukan hukum alam pak,...tapi hukum supply dan demand.

Yang kita semua kehendaki adalah harga yang fair untuk produsen dan pembeli. Saya rasa ini kita semua setuju dan tidak perlu voting atau pansus untuk memutuskannya.

Jika pembeli tertarik dengan kualitas minyak Indonesia,...cara terbaik untuk menilai harga fair ya seperti yang dilakukan DAI yaitu dengan penilaian HPP.

JIKA secara rata2 nasional HPP Indonesia tidak masuk dengan target harga pembelian buyer, dan buyer memiliki alternatif negara lain yang (mengutip pak Arianto) lebih miskin atau mau dibayar lebih murah,....... ya silahkan saja. Lebih baik INDONESIA tidak produksi nilam daripada produksi tapi masyarakatnya harus dibuat miskin. Saya yakin masih banyak sumber rezeki lain yang lebih layak untuk masyarakat Indonesia.

Regards,
Hega Bernoza
PT AgriAtsiri Indonesia

Sebagai catatan, tentu saja para pelaku industri atsiri indonesia harus berupaya seefesien mungkin dalam mengelola usahanya, dan berusaha mencapai produktivitas sebaik mungkin.

Akan lebih baik jika diskusi ini dilanjutkan dengan sharing inovasi atau perlakuan yg bisa mengefisienkan atau meningkatkan produktivitas.

Di AAI, kami mencoba mengurangi cost processing dengan menggunakan batubara dan tongkol jagung untuk bahan bakar penyulingan.
Selain itu, limbah nilam dimanfaatkan untuk bahan kompos yang pada akhirnya menurunkan biaya pemupukan.
Dan juga saat ini sedang diupayakan pola tanam tumpang sari dengan pepaya dan jagung untuk optimisasi value per ha.
.... Ada teman2 yang bisa sharing???

Regards,
Hega Bernoza

Terima kasih mas Hega atas koreksinya...
Jadi, m. nilam adalah "sunset" industry dong (?)...seperti industri garmen & tekstil yg dilibas China...bahkan sebelum CAFTA dilaksanakan...

Ada lho yang rendemen-nya >4%...produk dari nilam juga...yg belum begitu dikenal dan masih panjang cerita & usahanya...saya malah berpikir seperti halnya evolusi...bukan spesies yg terkuat yg survive, tetapi yg mampu beradaptasi yang survive...

salam,
arianto

Sangat menarik konstruktif diskusinya. Apa kabar bapak2 sekalian? Semoga saya menjumpai semuanya dalam keadaan sehat via email ini.

Saya ingin menambahkan bbrp butir berdasarkan pengalaman budidaya di Pakpak Bharat:
1. Kebun. Tidak dipungkiri bahwa tanaman nilam sangat rakus hara sehingga panen ke 1, 2, s/d ke 6 (dari tanaman yg sama yg pertama kali ditanam) hasilnya berbeda-beda. Padahal aplikasi pupuk (secara organik utk kebun organik dan anorganik utk kebun anorganik) berjalan terus.
Kesimpulan:
>Panen 1 terbaik, panen 6 (terakhir, usia tanaman 2 thn) terburuk, baik dari segi kuantitas (panen) maupun kualitas (setelah disuling jd minyak).
>"Rate Pemburukan" tsb kira2 berkisar 5-10% dari 1 panen ke panen berikutnya.
>HPP otomatis tidak bisa sama antara panen yg satu dengan panen yg lainnya.
>Metode budidaya cara modern yg umumnya diterapkan di pulau Jawa tidak bisa dilaksanakan di Pakpak Bharat. Akhirnya pola tanam masyarakat secara tradisional juga yg "menang".
>Usia tanaman yg maksimum hanya untuk 2x panen, mungkin bisa 3x jika cuaca/agroklimat mendukung.

2.Kuljar. Harapan pada metode budidaya dengan benih dari Kultur Jaringan ibaratnya masih jauh panggang dari api. Ujicoba penanaman dilakukan di tiga lokasi: Bogor (tempat Kuljar dikembangkan), Kuningan Pakpak Bharat. Hasilnya?
>Dari sumber benih (F-0/nol) yg sama, ternyata pertumbuhannya di ketiga lokasi tersebut menjadi tanaman yg berbeda (ketiga2nya menjadi tidak sama).
>Beda kondisi tanah/agroklimat, maka beda pula tanamannya. Sama seperti ungkapan tentang masakan: bahan boleh sama, tapi jika kokinya berbeda, maka beda pula rasa makanannya.
>Penelitian masih harus dilakukan terus.

3.Pasar. Sy setuju harga $40 FOB/CIF (tapi tidak dibawah 40). Sy jg setuju $50 FOB/CIF. Sy jg setuju $60 FOB/CIF atau bahkan diatas itu. Karena:
>PA, ada yg 28, 30, 32, 35, 38, dll.
>Aromanya, Sumatera berbeda dengan Jawa. Bahkan di Sumatera sendiri berbeda2.
>Warna, ada yg terang benderang kaya minyak goreng, ada yg gelap kaya kecap.
>Enduser, ada yg belinya 50-100ton, atau 10-50ton, bahkan ada yg cuma 1 jerigen 25kg. Ya sudah jelas harganya berbeda dong.
>Pada akhirnya memasak nasi putih semua orang bisa bukan rahasia, makanya di seantero jagat yang namanya warung nasi Padang kan terus bermunculan, dengan citarasa kekhasan masing2. DAI punya misi untuk menumbuhkan pemain2 baru, terutama exportirnya.
>Biarkan mekanisme pasar bekerja, namun jangan ada "mafia" (Al Capone saja tumbang kok pada akhirnya). Yang penting berusaha/bisnis/dagang dengan itikad dan mengikuti norma2 yang baik.

My BerryBest regards,

Feri

Saya ingin menambahkan khusus tentang HPP:
>Saya pribadi sangat se7 mendukung pola penentuan harga dengan pendekatan HPP karena memang metode itulah yang fair dan industri selama (berdekade2) ini sudah mempraktekkannya.
>Saya juga sangat se7 dengan pandangan teman2 pak Ferry/Ari/Hega/Marcus yaitu bahwa HPP tidak akan bisa sama antara satu daerah dengan daerah yang lainnya semata2 karena Nilam ini adalah (menurut saya) yang paling unik. Apalagi HPP perorangan dengan perusahaan, pasti berbeda.
>Program Cultiva DAI tetap dijalankan dengan misi utama untuk mengedukasi pelaku minyak atsiri, khususnya Nilam. Keberhasilan tidak bisa dicapai dalam waktu singkat perlu waktu untuk berproses.
>Kalau bisa dianalogikan, program Cultiva adalah program fair trade-nya komoditas kopi seperti yang disampaikan pak Marcus. Skalanya masih sangat kecil/insignificant, namun perlu untuk dimulai.
>Edukasi terus seluruh teman2 petani penyuling tentang HPP. Terutama besar porsinya/kepentingannya didalam mata rantai perdagangan peranannya didalam suatu industri.

Feri

Selamat pagi sahabat semua,

Pak Feri/Hega/Feri/Ferry atau rekan2 yang lain, berdasarkan pengalaman Bpk2, apakah ada penurunan kualitas jika dari pohon yang sama kita stek dan kita tanam dilahan dan dengan perlakuan yang sama.

Saya juga mencoba menanam bibit kuljar, menurut info Pak Feri, jika ditanam dilokasi yang berbeda, hasilnya berbeda. Yang mau saya tanyakan: apabila kita stek dan tanam dilahan yang sama, apakah akan menghasilkan tanaman yang sama?

Saat ini saya mencoba menanam dengan cara organik, karena ternyata memang lebih tahan terhadap kekeringan, seperti yang diinformasikan beberapa waktu yang lalu mengenai penanaman di kalimantan yang menggunakan kompos sebagai pupuknya.

Pak Feri, saya sedang mencoba mengamati cara panen yang mungkin bisa mempengaruhi hasil panen masa berikutnya. Kalau sudah dapat hasilnya, saya akan informasikan ke sahabat sekalian.

Salam,

Marcus


Selamat pagi,....
Pa Feri, apa kabar,...
Sepertinya sama nih pengalaman kita kalau nilam tidak bisa dipanen 11x,...antara 2-3 max. Percobaan kultur jaringan kita di jagorawi juga tidak menggembirakan. Bibit yg kami beli dari salah satu produsen bibit kultur jaringan di bogor yang ditana di area virgin (belum pernah ditanam nilam) terkena serangan budog. Analisa kami kemungkinan besar saat aklimatisasi perusahaan penyedia bibit ini kurang steril, karena digabungkan antara bibit dari kultur dan stek saat di area aklimatisasi sehingga sangat mungkin terkontaminasi di areal ini.

Pak Marcus, saat ini kami sudah masuk penanaman fase 2, sepanjang pengamatan kami tidak ada perubahan sifat tanaman yang diperbanyak dgn stek dibandingkan bibit induk.

Kami juga sudah mengarah ke organik, per ha per tanam dan per panen kami aplikasikan 10 ton kompos dgn bahan limbah nilam,jagung,dan ampas kopi serta tentunya kotoran sapi. Kompos ini sesuai hasil lab menghandung N 2.83% P 0.29 % K 2.67%, sementara. Unsur hara yang diserap nilam kami N2
2.86%, P 0.19%, K 2.95%. Untuk saat ini masih di kombinasikan dgn pupuk kimia dalam dosis terbatas.
Bagaimana komposisi dan kandungan unsur hara kompos pak Marcus, mungkin bisa di share?
Untuk cara panen, jika ada teman2 yg bisa sharing...kami juga sedang mencari cara panen yg terbaik, karena hal ini sangat berpengaruh pada panen berikutnya serta merupakan faktor biaya yang cukup signifikan, rata2 Rp 200 per kg daun basah atau sekita 44rb per kg oil jika dgn rendemen 0.45% daun basah ke oil (biaya termasuk pengebalan, dan angkut ke pabrik/area penjemuran). Pak Marcus jika ada temuan yang menarik mengenai cara panen mohon dishare .....

Regards,
Hega Bernoza

Selamat pagi juga sahabat,
Stek dari pohon yg sama tidak akan menurunkan kualitas jika ditanam dilahan dan dengan perlakuan yang sama. Buktinya? Petani yg sudah turun temurun melakukannya di Aceh dan Sumut.

Ttg kuljar jika ditanam dilahan yang sama, berdasarkan pengalaman sy, belum tentu. "Penyimpangan" (genetis kali ya) buktinya ada/masih muncul, tp nampaknya tidak signifikan.

Gudluck!

My BerryBest regards, Feri


Terima kasih infonya Pak Feri,

Pak Hega, kebetulan, saya baru panen 1 x, jadi belum bisa bilang cara pangkasnya benar atau tidak, kalau sudah ada hasil, nanti pasti sy share.

Sy menggunakan kotoran ayam sebagai bahan kompos, sy belum test unsur hara komposnya Pak, gak ngerti caranya :-) maklum back ground saya kuli bangunan.

Saya coba tanam yang kuljar, memang baru 100 phn saja, sejauh ini gak kena penyakit Pak.

Pada tahap awal pembuatan bedengan, saya sengaja menggunakan pupuk kandang mentah, jadi timbul panas di bedengan, yg mungkin membuat hama tidak nyaman, hanya saja musti menunggu 2 minggu baru ditanami.

Demikian sharing saya Pak.

Salam,
Marcus

5 comments:

  1. Salam Kenal bapak2 semua
    Saya Bustami
    Di
    Medan
    Saya Masih mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Sumatera Utara

    Beberapa bulan belakangan ini, saya lagi mempelajari bisnis minyak nilam, akan tetapi saya masih banyak kurang memahami tentang bisnis ini, apalgi tetang pembeli, Ada ngak pembeli minyak nilam di Medan ? dan berapa harga nya saat ini ?

    Jika ada yang tau informasi ini mohon dikabari ke alamat email saya pak ya (Bustami_87@rocketmail.com)

    Terima kasih

    Bustami

    ReplyDelete
  2. Justru di Medan itu sentralnya eksportir2 minyak nilam. Silakan disurvei dan dikunjungi satu persatu seperti CV. Aroma, PT. Karimun kencana Aromatik, PT Harum Segar aromatic, PT. Indowangi Nusajaya. Selamat berkarya dan menelusurinya.

    ReplyDelete
  3. salam kenal bapak2 sekalian
    saya yani, mahasiswa malang
    kebetulan saya tertarik pada tanaman nilam sebagai penelitian skripsi saya
    rencananya saya ingin meneliti tentang pengaruh umur panen terhadap produksi terna sehingga dapat meningkatkan rendemen dan mutu minyak tanaman nilam,
    berkaitan dengan rencana saya tersebut, saya ingin menanyakan kisaran harga minyak atsiri nilam berdasarkan mutu, adakah perbedaan yang signifikan antara yang mempunyai kadar PA di bawah 25% dengan di atas 30%
    selanjutnya saya ingin minta pendapat bapak2 sekalian tentang rencana penelitcian saya tersebut, saya mohon masukannya,,
    terimakasih

    ReplyDelete
  4. To Yani : Kalau PA antara 28-31 biasanya harganya tidak terpaut jauh. Utk nilam suamtra (Aceh dan Sumatra Utara) dengan PA di atas 33 biasanya harganya lbh mahal Rp 30.000 s/d Rp 50.000,- dibandingkan myk nilam dr Jawa (yg PA-nya sekitar 28-31). Utk PA 25 dihargai jauh lbh murah.

    ReplyDelete
  5. salam kenal bapak bapak sekalian...
    nama saya wawan di kendari, sulawesi tenggara...

    saya sangat tertarik untuk mempelajari budidaya tanaman nilam...
    dikarenakan di sekitaran kebun saya di wilayah konawe selatan, masyarakat sekitar banyak yang mempunyai tanah yang kecenderungan menganggur...
    untuk itu bagi yang mempunyai informasi, mengenai pelatihan tentang tekhnik budidaya, terutama dalam hal kalkulasi bisnis mengenai tanaman nilam disekitaran sulawesi tenggara mohon dinformasikan...

    wawan
    laoderakhmaddarmawan@gmail.com

    ReplyDelete

Silakan memberikan komentar untuk tulisan ini.......