Kemarin malam aku ditelepon si Awal Ramadhan (adik kelasku dulu di ITB dan sekarang sudah menjadi salah satu juragan kayu massoi di Papua…hehe), dia bertanya mengenai minyak litsea cubeba (litsea cubeba oil). Usai telepon aku termenung, ingat akan kejadian-kejadian beberapa tahun silam saat aku masih kuliah tingkat 3.
Pertama kali aku mendengar dan mengenal dunia minyak atsiri pada masa-masa itu ternyata bukanlah minyak nilam, minyak sereh, minyak pala, minyak cengkeh, atau minyak atsiri apapun yang sudah cukup familiar di Indonesa. Yah, aku pertama kali kenal istilah minyak atsiri berawal dari minyak litsea cubeba ini.
Setidak-tidaknya, tanaman pertama kali yang aku lihat dan sadar bahwa tanaman itu adalah sumber minyak atsiri adalah litsea cubeba. Memang banyak tanaman di sekitar kita yang bisa diambil minyak atsiri sepeti jahe, kunyit, jeruk, lengkuas, sereh dapur, dll. Tapi pada saat itu aku belum sadar bahwa tanaman itu juga penghasil minyak atsiri.
Ceritanya begini, waktu itu aku dan beberapa teman seangkatanku diajak bepergian oleh seorang dosen yang cukup idealis dan sangat populer terutama dalam bidang energi terbarukan yaitu Dr. Ir. Tatang H Soerawidjaja (saat ini menjabat sebagai Ketua Forum Biodiesel Indonesia) ke hutan yang masih termasuk wilayah kawasan wisata Gunung Tangkuban Perahu – Jawa Barat. Dengan berbekal informasi awal dari buku tua (1950) karangan K. Heyne (orang Belanda) yang telah diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan (1987) berjudul "Tanaman -tanaman Berguna Indonesia", kami bertanya-tanya pada petugas tempat wisata dan kepada penduduk yang membuka kios di sekitar Tangkuban Perahu dimana gerangan letak tanaman "Kilemo" (sebutan orang Sunda untuk tanaman Litsea cubeba ini), Akhirnya, kami masuk menelusuri kedalaman hutan ditemani oleh penjaga kios. Bau wangi khas sitral (pada waktu aku belum tahu wangi sitral) memang sedikit terasa saat kami mendekati pohon ini. Kami menemukannya di kedalaman hutan dan ternyata ada beberapa buah pohon lagi di sana. Menurut si penjaga kios tadi, Kilemo biasanya digunakan penduduk sebagai pengusir ular dengan menaruh batang pohon yang wangi ini di rumah mereka. Dan kalau tidak salah, batang-batang Kilemo banyak dijual penduduk di sekitaran jalan setapak dalam kawasan wisata Gunung Tangkuban Perahu sebagai buah tangan. Sementara dosen aku menjelaskan akan potensi minyak atsirinya. Tak lupa kami mengabadikan pohon ini dan bagian-bagiannya (sayang, photonya ada di teman saya. Buat Dewi Mersitarini kalau baca tulisan ini mohon saya dikirimkan photo petualangan kita dulu…hehe). Pak Tatang juga mengambil beberapa bagian pohon ini untuk diambil minyak atsirinya. Tak lupa beliau juga mengambil beberapa anak pohon yang kecil untuk ditaman di kebun pribadinya. Saat ini aku belum tahu kabar pohon-pohon kecil yang beliau tanam dulu apakah saat ini sudah tumbuh besar atau malah mati. Dalam perjalanan waktu, kami bekali-kali mengunjungi tempat ini kembali (agaknya sekarang aku sudah lupa letak pastinya…hehe).
2 tahun kemudian, saat aku dan beberapa rekan jalan-jalan ke Ciwidey-Bandung Selatan, aku kembali menemukan pohon ini dalam jumlah beberapa di sekitar Kawasan Wisata Kawah Putih – Gunung Patuha, Jawa Barat.
Litsea cubeba oil merupakan salah satu komoditas minyak atsiri yang diperdagangan di dunia. Penghasil utama minyak ini adalah RRC dengan tingkat produksi di atas 1500 ton/tahun. Harga internasional minyak ini pada akhir tahun 2007 sekitar 17 US$/kg. Litsea cubeba oil merupakan sumber sitral dimana kandungan sitral minyak ini di atas 70%. Melihat fungsinya sebagai sumber sitral, maka minyak ini dapat dikatakan bersaing dengan minyak sereh dapur (lemongrass oil) yang juga sebagai sumber sitral. Sitral merupakan komponen yang cukup penting dalam dunia flavor dan parfumery. Sitral juga dapat dikonversi secara kimia menjadi komponen-komponen penting lainnya baik dalam dunia parfumery maupun farmasi, seperti ionon.
Aku kutif dari sebuah sumber tertulis di internet "Small quantities of Litsea cubeba oil are produced on Java, Indonesia, but from the leaves rather than the fruits and it is not rich enough in citral to be suitable for export". Hal ini sejalan dengan informasi yang diberikan oleh Si Awal via telepon tempo hari. Dia mengatakan bahwa di daerah Cepu-Jawa Tengah pernah ada yang menyuling minyak ini dan diekspor ke Australia. Tapi dia sendiri tidak yakin apakah aktivitas ini masih berlangsung hingga saat ini. Orang Jawa menyebut tanaman ini "krangean" atau "trawas".
Balitro pun pernah meneliti minyak ini yang tertuang dalam makalah yang berjudul "Tanaman Minyak Atsiri Baru : Clausena, Adas (Foeniculum), Backhousia citriodora, dan Litsea cubeba)" dalam Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Indonesia 6(1) hal. 66-73 yang ditulis oleh Zamarel, S. Rusli, dan A. Djisbar tahun 1990. Perasaan aku dulu pernah kopi makalah ini dari perpustakaan Balitro, tapi setelah dicari-cari dalam arsipku ternyata tidak ada. Pastinya akan banyak informasi seputar minyak ini dari makalah tersebut terutama mengenai rendemen minyak dari beberapa bagian tanamannya. "Rendemen minyak atsiri yang diambil dari buah tanaman ini berkisar antara 3 – 5%", sebut sebuah sumber.
Penasaran pengen lihat bentuk tanaman dan buahnya? Karena photo-photo kita dulu masih di tangan rekan saya, terpaksa aku ambilkan dari internet.