Question from furoiddun nais
Salam Kenal, mas ferry...
Sebelumnya perkenalkan, nama saya Furoid, biasa dipanggil OID. Saya dari teknik kimia UPN "Veteran" Surabaya, baru lulus 2006 kmrn...I'm still junior:)
Saat ini saya berada di Bengkulu, jadi dosen di D3 agribisnis Universitas Bengkulu sambil nyambi coba berwirausaha.
Habis baca tulisan2 mas ferry di milis teknik kimia, saya gak sengaja masuk ke blog mas ferry...dan exciting bgt pas tau kalo mas ferry ternyata pakar minyak atsiri (semoga bisa jadi kayak pak ketaren dari IPB:)..
Di tempat saya di Bengkulu ada pabrik minyak atsiri milik BUMD yang lama mangkrak karena alatnya rusak dan dianggap tidak ekonomis, padahal usia pabrik baru 4 tahun. Saya coba memperbaiki, dan Alhamdulillah bisa berhasil dengan baik. Kemudian saya diminta bantuannya untuk ikut mengelola pabrik tersebut dengan menjadi direktur produksinya. Tapi saya masih belum berani mengoperasikannya dengan berbagai pertimbangan.
Daerah Bengkulu pada umumnya baru mengenal tanaman atsiri nilam, dan sudah dibudidayakan dengan cukup luas, kemudian disuling sendiri secara tradsional. Peralatan pabrik yang saya kelola, kapasitas terpasangnya cukup besar, terdiri dari 20 ketel suling dengan kapasitas @ 14.000 liter, dan satu buah steam boiler kapasitas 600 kg/jam, kebutuhan bahan bakar (menurut data spec alatnya) 1,17 - 1,5 liter/jam/ketel.
Setelah saya perbaiki, masalah teknis kemungkinan sudah tidak ada. Akan tetapi ketakutan saya adalah mengenai pilihan komoditas yang akan diolah dan hitung2an ekonomisnya. Hal ini tentunya berkaitan dengan harga jual dan biaya produksi. Permasalahnnya waktu dulu dioperasikan, ketika harga nilam naik masyarakat tidak ada yang menjual / menyulingkan ke pabrik, sedangkan pabrik tidak memiliki kebun inti sendiri. Ketika harga minyak nilam turun, masyarakat berbondong - bondong menjual ke pabrik, sedangkan margin yang diperoleh oleh pabrik sangat kecil.
Daerah bengkulu selain penghasil nilam juga sentra pertanian jahe (gajah & emprit), sedikit pala, dan beberapa petani mulai menanam akar wangi. Menurut mas Ferry, komoditas apa yang sebaiknya saya produksi dan kembangkan, yang cukup layak secara teknis, ekonomis, dan budidayanya. Kemudian kemana jalur penjualan produk minyak atsiri tersebut??
Mungkin segitu dulu mas, semoga kita bisa trs sharing informasi lainnya...
Thx bgt sebelumnya atas perhatian dan sarannya mas ferry...
"oid"
Jawaban Ferry :
Salam kenal kembali Mas Oid…..
Senang sekali bisa kenal dengan Mas yang sama2 teknik kimia dan sama2 tertarik pada komoditas minyak atsiri. Terima kasih atas apresiasinya. Saya juga masih junior kok dan masih sama-sama belajar....:) O ya, Bengkulunya di mana, Mas?
Sebelumnya saya mau tanya nih, apa benar volume ketel sulingnya sampai 14000 Liter? Besar sekali ya. Boleh tahu diameter dan tingginya brp dan menggunakan material apa? Stainless Steel atau besi biasa saja.
Mas Oid, harga minyak nilam kan sedang mahal sekarang2 ini. Mencapai lebih dari 300.000 /kg. Apa para petani nilam di Bengkulu menyuling nilamnya sendiri? Sehingga hingga saat ini pabrik yang Mas Oid kelola masih belum dapat beroperasi. Memang begitu Mas Oid kelemahan penyulingan nilam jika tidak mempunyai kebun inti sendiri, sangat riskan terhadap pasokan bahan baku. Apalagi masing2 petani sudah punya alat suling meskipun sistem tradisional dan sederhana. Selain itu kita juga tidak bisa menjamin kualitas bahan baku yg diharapkan karena tidak bisa mengontrol secara langsung perawatan lahan nilam tsb. Kualitas daun dan minyaknya juga dipengaruhi oleh cara budidaya nilam itu.
Kebetulan saya mengusahakan minyak pala di Kab. Bogor dan daun cengkeh di Kab. Garut (gambar penyulingannya ada di blog saya). Mas Oid sempat juga menyinggung mengenai keberadaan pala di Bengkulu. Jika memang bahan bakunya memadai, mungkin bisa juga menyuling pala di sana dan kita siap untuk membantu memasarkannya. Tapi harus dikaji dulu mengenai kelangsungan supplai raw material dan analisis ekonominya. Utk hal ini nanti akan saya bantu juga.
Kemudian saya juga berfikir untuk pengembangan sereh wangi di sana. Karena sereh wangi dapat dipanen dlm waktu cepat (6 bulan) dan setelah itu setiap 3-4 bulan sekali selama 4 tahun. Yah...mirip2 seperti nilam lah. Jika benar memang punya 20 ketel suling, menurut saya masih cukup memungkinkan utk mengembangkan komoditas minyak sereh wangi. Kalau memang berminat untuk mengembangkan itu, saya bisa membantu utk mensupport segalanya termasuk budidaya, studi kelayakan, dan aneka literatur2 pendukungnya sampai dengan ke pemasaran. Karena sereh wangi blm dikenal di sana, jadi saya pikir lebih mudah dalam hal pasokan bahan baku. Selain punya kebun inti sendiri juga membina plasma2 petani. Sereh wangi harus disuling dgn kapasitas besar sehingga kecil kemungkinannya petani plasma utk ikut2an menyuling, lagipula mereka blm paham akan marketnya. Mungkin hal ini bisa jadi bahan kajian tersendiri dengan pihak BUMD yg dalam hal ini Pemerintah Daerah utk mengembangkan komoditas atsiri lain selain nilam.
Akar wangi?? It's OK. Meskipun harus dilihat dahulu kualitas akar wangi yg dihasilkan apabila ditanam di Bengkulu. Akar wangi itu komoditas spesial dari Garut (Jawa Barat) dan dunia perdagangan internasional sudah sangat mengenalnya. Setahu saya, beberapa daerah sempat mengembangkan komoditas ini di luar garut tetapi tidak ada yang berhasil. Nanti kita lihat apakah di Bengkulu dapat berhasil baik dari sisi produktivitas terna/akar maupun rendemen serta kualitas minyak.
Jahe emprit juga baik utk disuling, hanya memang marketnya tidak sebesar minyak pala dan nilam. Saya ada beberapa market juga yg menampung minyak jahe di Jakarta.
Mungkin nanti kalau ada waktu, bolehlah saya main2 ke Bengkulu...hehe.
Salam,
-ferry-