Wednesday, December 05, 2007

GARUT "the land of vetiver"


Kembali bersama Ferry dalam edisi tour the atsiri….hehe. Selaksa perjalanan untuk menambah wawasan dan ilmu di bidang minyak atsiri. Harum semerbak mewangi begitu kental terasa dalam indra penciuman kala melewati tugu batas Desa Sukakarya – Kecamatan Samarang – Kab. Garut, Ja-Bar. Di sebelah kanan dan kiri jalan yang saya lalui sepanjang jalan raya Kamojang ada beberapa penyulingan minyak akar wangi yang sepertinya berhenti berdenyut. Ditandai dengan ketel-ketel suling yang bergelimpangan di sisi bangunan pabrik dan sepinya aktivitas di setiap pabrik. Apa gerangan yang terjadi?

Jawaban itu akhirnya saya dapatkan saat berjumpa dengan salah satu penyuling minyak akar wangi yang sudah cukup tenar, tidak hanya di Garut, tetapi juga di Jawa Barat dan Indonesia, yakni Bapak H. Ede Kadarusman. Beliau saat ini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Petani, Produsen, dan Pelaku Bisnis Minyak Atsiri Jawa Barat (AP3MA-Jabar) dan salah satu pengurus Dewan Atsiri Indonesia (DAI). "Dari sekitar 14 penyuling akar wangi di Kec. Samarang, saat ini hanya 3-4 yang aktif beroperasi termasuk yang punya saya", begitu ceritanya seraya menyeruput kopi manis di sela-sela bibirnya. Masalahnya adalah bahan baku yang sangat terbatas sebagai imbas turunnya harga minyak akar wangi awal tahun 2006 kemarin yang hanya mencapai Rp 200.000/kg. Menurutnya, untuk menjalankan 1 unit penyulingan berkapasitas 1.5 ton akar per batch secara kontinyu membutuhkan lahan garapan sekitar 100 ha. Harga minyak akar wangi di tingkat pengumpul saat ini sudah relatif baik yaitu sekitar Rp 525.000 – Rp 600.000/kg tetapi apa daya masih cukup sulit untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk menanam kembali komoditas ini. Pak H. Ede bersama kelompok taninya saat ini mengembangkan 100 ha perkebunan akar wangi yang ditanam pada ketinggian sekitar 1300 – 1400 m dpl. Alhasil, dari 2 ketel suling miliknya hanya satu saja yang beroperasi.

Dengan sistem pertanian yang tradisional, setiap 1 ha lahan dapat menghasilkan 7 – 8 ton akar wangi per tahun dengan tingkat rendemen 0.3 – 0.5% (basis kebun, bukan basis kering) dan usia panen rata-rata 1 tahun. Adapula yang memanennya di bawah 1 tahun sehingga rendemen dan kualitas minyaknya tentu saja jauh dari harapan. Sedangkan Pak Ede saat ini mengikuti SOP yang benar dalam bertanam akar wangi sehingga menurutnya terjadi kenaikan produktivitas hingga 12 – 15 ton per tahun dengan tingkat rendemen 0.6 – 0.8%. Meskipun biaya operasionalnya hampir 2 kali lipat sistem pertanian tradisional tetapi hasilnya bisa 2 kali lipat lebih tinggi.

Masalah yang sering terjadi dari sisi proses produksi adalah tekanan kerja ketel suling yang tinggi yaitu sekitar 5 barg (6 bar a) sehingga minyak akar wangi yang dihasilkan berbau gosong karena temperatur uap yang tinggi. Penyulingan dengan tekanan 2.5 – 3 barg akan menghasilkan minyak akar wangi yang berbau lebih halus dan berwarna lebih jernih. Hanya saja timbul masalah lain, ketika menyuling pada tekanan yang lebih rendah maka dibutuhkan waktu penyulingan yang lebih lama. Jika menggunakan tekanan tinggi, 12 jam saja sudah cukup. Tetapi jika tekanannya lebih rendah memakan waktu 16 -18 jam. Hal ini berdampak pada besarnya biaya bahan bakar (minyak tanah) yang dikeluarkan (rata-rata 22 liter minyak tanah/jam). Demikian pula halnya dengan rendemen yang dihasilkan, penggunaan tekanan rendah menghasilkan minyak lebih sedikit daripada tekanan tinggi.

Pesaing minyak akar wangi garut di pasaran internasional adalah akar wangi dari Haiti. Tetapi akar wangi Haiti dihargai lebih mahal daripada minyak akar wangi Garut. Hal ini sudah dibuktikan sendiri oleh Pak Ede saat berkesempatan mengunjungi daratan Eropa dalam rangka misi vetiver oil beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu saja karena kualitas minyak akar wangi Garut berada di bawah Haiti.

Upaya-upaya untuk mempertahankan Garut sebagai "the land of vetiver" gencar didengung-dengungkan. Karena memang hanya Garut-lah yang memproduksi komoditas ini di Indonesia. Akar wangi bukannya tidak pernah dibudidayakan di tempat lain, tetapi hasilnya tidak sebaik di Garut. Akar yang dihasilkan memang panjang-panjang tetapi rendemen minyak yang dihasilkan jauh dari harapan. Akhirnya banyak digunakan sebagai bahan baku untuk kerajinan tangan. Jadi, perhatian kepada komoditas ini selayaknya dapat berkesinambungan dan bukan hanya sebagai proyek jangka pendek saja.

Maju terus, Pak Ede.