Serangkaian perjalanan membawa misi “minyak atsiri” membawa ragaku menuju Aceh. Sekitar 1 bulan yang lalu aku (dan partnerku, Mr. Syauqi) mewajibkan diri pergi ke Aceh selama satu minggu untuk menginstal, melatih operator, dan mengujicoba alat penyulingan nilam yang dipesan oleh salah satu customerku di sana. ACEH..... bukan barang langka dalam dunia minyak atsiri. Apalagi komoditas minyak nilam selalu dikait-kaitan dengan nama “Aceh” yang mengikuti kata “Nilam”. Bahkan dengan berbangga hati para penyuling/produsen minyak nilam atau penjual bibit nilam berteriak –teriak “Ini minyak nilam ACEH” atau “Bibit ini adalah nilam ACEH”. Meskipun ntah dimana bibit itu berasal atau darimana bahan baku nilam yang disuling menjadi minyak.
Makanya, tidaklah berlebihan jika judul tulisanku seperti tersebut di atas. Sama dengan ketika aku menulis catatan kunjunganku ke penyulingan minyak akar wangi di Garut tahun lalu (Baca= Garut, The Land of Vetiver).
Ada banyak hal yang kupelajari selama keberadaanku di sana. Salah satunya bahwa minyak nilam yang “benar-benar” ditanam di Aceh - bukan sekedar mengaku-ngaku nilam Aceh - memang memiliki kualitas yang sangat baik terutama dari kadar PA-nya. Kalau masalah rendemen, ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang kurasa bisa menyaingi nilam Aceh. Pada saat ujicoba penyulingan nilam di sana saya sempat agak panik, sebab setelah sekitar 4 jam sudah tidak ada penambahan minyak atas (minyak ringan) yang terlihat dari gelas pengamat level minyak pada oil separator kami. Pengalamanku di Jawa, sebagian besar minyak nilam berat jenisnya lebih ringan dari air sehingga dia akan muncul sebagai lapisan atas. Kalaupun ada, minyak beratnya (minyak yang ada di bawah air) jumlahnya kecil. Oleh sebab itu, desain separatornya disesuaikan dengan kondisi itu sehingga tidak ada gelas pengamat untuk minyak berat seperti halnya pada separator kami untuk minyak pala.
Setelah sekian lama menunggu dan ternyata minyak atasnya tak bertambah-tambah, aku penasaran akan apa yang terjadi. Iseng aku buka saja kran air di bawah separator. Dan ternyata...... mengalir cukup deras minyak berwarna kuning kecokelatan dari bagian bawah separator (minyak atas berwarna kuning jernih karena alat suling yang kami buat ini full stainless steel, termasuk boilernya). Dari pengalaman yang sudah-sudah untuk jenis minyak atsiri lainnya, minyak berat ini sangat kaya akan kadar PA (PA dalam bentuk komponen murni densitasnya lebih besar dari 1 kg/ml). Jumlah minyak berat ini aku perkirakan 1/3 – 1/2 dari jumlah total minyak nilam yang dihasilkan dalam satu sesi penyulingan. Subverb!! Para penyuling tradisional di wilayah Sumatra Bagian Utara (Sumatra Utara dan Aceh) biasa menyebut minyak nilam jenis ini dengan nama “minyak nol” yang artinya - jika diukur menggunakan meterlak/alkoholmeter permukaan minyak nilam akan menunjuk angka “nol” pada skala meterlak. Yah.... sama seperti halnya dengan minyak berat pada kasus minyak pala. Sekedar untuk mereview apa itu meterlak dan kaitan skalanya dengan kualitas minyak nilam, silakan baca kembali tulisanku yang berjudul “Meterlak/alkoholmeter”.
Yah.... itu sekilas mengenai salah satu wawasan yang kuperoleh di Aceh dari beberapa hal penting lainnya yang “tercium” di sana. Beberapa waktu lagi aku sudah merencanakan untuk berkunjung ke beberapa lokasi di luar Jawa baik untuk memasang dan menginstal alat penyulingan atau sekedar bersilaturahmi dengan rekan-rekan pelaku atsiri. Entah ilmu dan wawasan apalagi yang akan kudapatkan dalam selaksa perjalanan atsiri yang penuh “cinta” ini. Tunggu saja khabar selanjutnya.
nilam aceh :). maaf pak kualitas nilam sulawesi bagaimana? apa kadar rendemen bs di katakan sama dgn aceh?.terima kasih
ReplyDelete