Saturday, March 22, 2008

ENERGI DI IKM MINYAK ATSIRI : Jangan Biarkan Wangimu Memudar

Berita mengenai penarikan minyak tanah bersubsidi di DKI Jakarta yang diharapkan tuntas pada Mei 2008 mendatang sebagai tindak lanjut program konversi minyak tanah ke LPG memang cukup membuat kami (dan mungkin juga sebagian besar masyarakat) sebagai pengguna minyak tanah bersubsidi untuk keperluan penyulingan minyak pala cukup ketar ketir. Apa pasal? Penghilangan minyak tanah bersubsidi ini akan dilaksanakan secara bertahap ke seluruh penjuru nusantara dengan DKI Jakarta di atas sebagai daerah percontohannya. Meskipun secara sadar saya mengatakan di sini bahwa tindakan menggunakan minyak tanah bersubsidi untuk keperluan industri tidak dibenarkan, bahkan kami sempat harus berurusan dengan polisi berkaitan dengan hal ini. Meskipun kami juga punya banyak segudang "pembenaran" untuk itu, dengan salah satunya adalah bahwa industri kami adalah skala IKM (Industri Kecil Menengah) yang apabila harus menggunakan minyak tanah non-subsidi (yang harganya 2.5 kali harga subsidi), sudah dapat dipastikan usaha kami akan gulung tikar dalam waktu singkat. Hampir semua IKM minyak atsiri di Jawa Barat jikalau menggunakan minyak tanah sebagai sumber energi pastilah memanfaatkan minyak tanah bersubsidi yang murah. Saya jamin 99% (1% saya sisakan, jika ternyata saya salah…hehe).Saya tidak akan menanggapi kebijakan pemerintah ini secara emosional karena di hati kecil sayapun sebenarnya sangat mendukung kebijakan penghilangan subsidi ini sejak saya menjadi mahasiswa teknik kimia dulu. Baiklah, singkirkan polemik mengenai kebijakan energi dari pemerintah karena tempatnya tidak di blog ini. Mari kita pikirkan langkah-langkah strategis dalam konteks industri minyak atsiri.

Menanggapi isu yang saya sebutkan di atas, saya mencoba melakukan kalkulasi sederhana perihal penggunaan aneka jenis energi untuk IKM minyak atsiri untuk sekedar membandingkan nilai ekonominya. Basis perhitungan adalah produksi (laju alir) uap sebanyak 50 kg/jam (tekanan 1 bar, atau 0 bar jika dibaca di pressure gage) Hasilnya adalah sebagai berikut :

Mungkin dari hitung-hitungan saya di atas, ada beberapa asumsi yang kurang tepat atau bahkan tidak realistis sekalipun di mata pembaca blog ini karena keterbatasan wawasan dan pengetahuan saya, meskipun saya selalu berusaha untuk tampil serealistis mungkin (baca=mendekati kenyataan). Silakan kritik saya melalui comment, atau kirim email secara pribadi kepada saya dan kita diskusikan dalam tataran rasional demi pembangunan minyak atsiri Indonesia.

OK, mari kita bahas satu persatu.

1. Minyak tanah
Secara ekonomi, jelas sekali terlihat bahwa penggunaan minyak tanah non-subsidi akan menaikkan biaya operasional dari aspek energi lebih dari 2 kali lipat. Sebagai gambaran, saya buka dapur penyulingan kami bahwa setiap kali menyuling dengan kapasitas 550-600 kg bahan baku biji pala (sekitar 30 jam atau lebih) kami mengeluarkan biaya energi rata-rata Rp 750.000,- – Rp 800.000,-. Itu dengan menggunakan minyak tanah bersubsidi. Bayangkan jika menggunakan minyak tanah non-subsidi. Keuntungan yang fluktuatif (bahkan sering juga merugi) per batch, tergantung pada kualitas bahan baku yang kami peroleh, membuat kondisi ini semakin rumit. Beberapa jenis minyak atsiri (di Jawa Barat) yang disuling menggunakan bahan bakar ini adalah minyak pala, minyak akar wangi, minyak jahe, minyak ylang-ylang milik PERUM PERHUTANI di Banten, dan sebagian kecil minyak nilam.

2. Gas LPG
Mohon maaf kepada para penulis/peneliti yang mengatakan bahwa penggunaan LPG lebih hemat sebagai "pembenaran" dari program konversi minyak tanah ke LPG. Saya sudah mencoba dengan berbagai manipulasi asumsi yang menurut saya masih logis, dan pada akhirnya saya merasa sulit untuk mengatakan bahwa penggunaan LPG lebih hemat secara ekonomi (jangka pendek dan tataran mikro) daripada menggunakan minyak tanah bersubsidi. Mohon disampaikan kritik kepada saya apabila salah mengambil asumsi sehingga saya berkesimpulan demikian sehingga perlu "dicerahkan". Perlu diingat bahwa ini masih hitungan teoritis, belum berdasarkan data-data praktis eksperimental. Tapi kalau kita bicara kelebihan, LPG memang saya akui memiliki segudang kelebihan daripada minyak tanah, termasuk juga kelebihan dari aspek ekonomi jika ditinjau secara makro dan jangka panjang (ada pendapat lain?).

3. Kayu bakar
Inilah sumber energi paling murah dalam konteks penyulingan minyak atsiri, setidak-tidaknya dari batasan jenis sumber energi yang menjadi bahan kajian saya. Meskipun sisi buruknya terutama dari aspek lingkungan sulit dicari pembenarannya. Yah, paling ekstrem kita mengatakan "Lho, lebih tak beradap mana antara penyuling minyak atsiri skala IKM yang memanfaatkan kayu bakar dari pohon-pohon yang sudah mati atau sisa/limbah kayu dari pabrik penggergajian dengan para pembalak liar (atau setengah liar dengan kedok HPH) yang menjarah hutan-hutan negara kita ribuan atau bahkan jutaan ha?". Kebetulan selain menjadi produsen minyak atsiri, saya memiliki bengkel kecil yang memang dikhususkan untuk membuat alat-alat suling pesanan orang lain yang tidak mampu membelinya di bengkel-bengkel profesional karena harganya tidak terjangkau oleh pengusaha minyak atsiri pemula. Semua order pembuatan alat suling skala komersial yang masuk meminta saya membuatkan atau mendesain untuk mengakomodasi penggunaan bahan bakar kayu atau biomassa lainnya. Kondisi nyata di lapangan, sebagian besar penyulingan minyak nilam, minyak cengkeh, dan minyak sereh wangi di Jawa Barat menggunakan bahan bakar kayu. Kayu bakar ini mereka gunakan sebagai tambahan energi karena mereka juga memanfaatkan biomassa dari limbah/ampas penyulingannya. Sebagian besar kayu ini diperoleh dari kayu sisa di pabrik penggergajian atau mengerahkan tenaga-tenaga di desa untuk mencari kayu bakar di hutan.

4. Batubara
Ini juga sebuah sumber energi alternatif yang lebih murah. Saat ini beberapa penyuling sudah mulai beralih atau melirik ke batubara. Bahkan program pemerintah melalui Departemen Perindustrian untuk membuat prototipe alat suling 4 jenis komoditas minyak atsiri pun sudah menggunakan bahan bakar batubara. Mata sayapun sudah menatap ke sana dengan melakukan sedikit modifikasi pada boiler dan tungku pembakarannya. Biaya energi pun lebih murah dari minyak tanah yang bersubsidi sekalipun. Beberapa kendala teknis perihal penggunaan bahan bakar ini seperti kontinuitas supply batubara ke lokasi penyulingan, laju korosi yang lebih tinggi karena keberadaan sulfur, tingkat kepraktisan pemakaian, serta timbulnya tar akan bisa diselesaikan lambat-laun seiring dengan bertambahnya pengalaman praktis mengaplikasikan batubara di lapangan.

Di antara 4 jenis bahan bakar tersebut, masih banyak potensi sumber energi primer lainnya yang belum terbahas. contohnya :

- Minyak bakar atau residu. Namun saya juga pesimis mengingat bahan bakar ini hanya untuk keperluan industri sehingga jika harga industri ini diterapkan di IKM minyak atsiri sepertinya tidak akan banyak menyelesaikan masalah energi.

- Biomassa lainnya selain kayu dan ampas penyulingan seperti bonggol jagung, tandan kosong sawit, sekam padi, batok dan sabut kelapa, jerami. Bahan bakar ini sangat menjanjikan asal harganya murah dan tidak ada konflik berkaitan dengan aplikasi di sektor lain. Misalnya sekam padi yang biasaya juga digunakan untuk alas di peternakan ayam, atau batok kelapa yang juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan karbon aktif.

- Biogas. Mungkin ini agak repot karena membutuhkan reaktor biogas (biodigester) yang besar dan sumber limbah organik yang sangat banyak supaya bisa mencukupi kebutuhan energi di IKM minyak atsiri.

- Panas bumi. Dari kabar yang saya dengar dari beberapa rekan, saat ini sedang digagas untuk pembuatan pilot project pemanfaatkan sumur-sumur yang tak lagi ekonomis di PLTP Kamojang Kec. Samarang-Garut sebagai sumber energi bagi IKM minyak atsiri akar wangi melalui program CSR-nya PT. Indonesia Power. Meskipun tentu saja tidak dengan cara penggunaan langsung (direct use) tetapi dengan mekanisme steam to generate steam. Semoga proyeknya berhasil dan mendatangkan kemanfaatan bagi penduduk sekitar PLTP yang memang sudah lama dikenal sebagai penghasil minyak akar wangi kualitas dunia.

- Ban-ban bekas. Beberapa penyulingan minyak atsiri banyak memanfaatkan ban bekas untuk energi karena harganya sangat murah dan juga cukup melimpah. Mereka sadar bahwa hal ini sangat berdampak buruk baik untuk lingkungan sekitarnya maupun alat prosesnya itu sendiri. Tapi ya mau bagaimana lagi supaya dapur tetap ngebul, katanya.

- Biodiesel dan bioethanol. Wah, nanti dulu lah....hehehe.

Selain perubahan jenis sumber energi, tentu saja perlu dilakukan strategi-strategi lainnya untuk mengoptimalkan penggunaan energi. Dengan kata lain, meningkatkan efisiensi energi diantaranya dengan :

* memanfaatkan panas buang gas cerobong sebagai pemanas mula air umpan boiler (jika digunakan sistem penyulingan uap) atau air ketel (jika digunakan sistem penyulingan uap-air/kukus) melalui ekonomiser sederhana.

* memanfaatkan panas buang gas cerobong untuk pengeringan bahan baku minyak atsiri sebelum diproses meskipun biasanya pengeringan ini menggunakan energi sinar matahari.

* sistem isolasi yang baik untuk meminimalkan kehilangan panas ke lingkungan.

sistem sirkulasi udara pembakaran yang baik dan tepat, berlebih untuk * mengoptimalkan pembakaran (terutama untuk biomassa) tetapi tidak kelebihan supaya panas hilang bersama gas cerobong tidak terlalu banyak. (Teknisnya bagaimana ya?)

* konfigurasi kondisi operasi penyulingan yang tepat sehingga bisa menurunkan lama waktu penyulingan yang tentu saja berdampak pada menurunnya tingkat konsumsi energi per batch.

Kesimpulan
Silakan pembaca menyimpulkan sendiri dari paparan-paparan yang saya berikan di atas. Tulisan ini hanyalah tulisan lepas dan bersifat informatif, bukan tulisan ilmiah yang mengutamakan logika-rasional dan analitis-sintesis untuk menyelesaikan sebuah masalah dan menghasilkan kesimpulan. Jadi ya, mengambang sedikit tidak apa-apa lah...hehe.