Tuesday, July 24, 2007

Samigaluh – Kulonprogo – DI Yogjakarta


Mmmhhh……. ada yang pernah bepergian ke sana? Kebetulan saya berkesempatan berkunjung ke sana kemarin (23 Juli 2007).

Samigaluh adalah sebuah kecamatan yang menjadi bagian administratif dari Kab. Kulonprogo Propinsi DI Yogjakarta. Daerah ini berkontur perbukitan dengan jalan berkelok-kelok. Wajar memang karena Samigaluh terletak di daerah Perbukitan Menoreh. Mmmhh…. Jadi ingat Judul Film dan Judul Novel “Api di Bukit Menoreh” - merupakan cerita silat klasik yang berkisah tentang berdirinya Kerajaan Mataram Islam karangan HS. Mintardja.

Namun di sini saya tidak ingin bercerita tentang resensi cerita tersebut. Namanya juga “essential oil corner” ya sudah pasti yang akan dibahas adalah minyak atsiri dan romantikanya.

Apa yang menarik dari Kecamatan Samigaluh berkaitan dengan minyak atsiri? Saya berkendaraan dari Jalan Raya Wates – Yogjakarta ditemani seorang kenalan baru yang juga pengusaha minyak atsiri lalu masuk menuju Desa Kemusuk – Godean. Mmmhh.... ada yang familiar dengan nama desa ini. Yak.....benar sekali, kalau anda pernah membaca kisah mengenai Presiden RI ke-2 – Pak Harto – maka anda akan paham apa yang menarik dari Desa Kemusuk ini. Dari desanya Pak Harto ini kami terus naik ke atas menuju Kecamatan Samigaluh. Sepanjang perjalanan ke sana yang berkelok-kelok terlihat di sisi kiri dan kanan jalan hamparan perkebunan cengkeh. Aroma khas cengkeh segera tercium bercampur dengan hawa sejuk pegunungan ketika saya membuka jendela kendaraan. Nah, kisah tentang atsiri di Samigaluhpun dimulai.

Samigaluh merupakan salah satu sentra cengkeh di Yogjakarta. Tidak hanya cengkeh sebagai rempah-rempah tetapi juga minyak cengkeh yang disuling dari daun gugur dan tangkai/gagangnya. Saya mampir dan melongok sejenak pada sebuah pabrik penyulingan cengkeh yang memiliki dua buah ketel suling. Kebetulan keduanya sedang tidak berproduksi karena masih menunggu tercukupinya jumlah bahan baku. Pada musim yang belum sepenuhnya kemarau ini memang agak kesulitan mendapatkan bahan baku daun cengkeh gugur. Meskipun demikian, sebentar lagi akan panen raya cengkeh sehingga kemungkinan produksi bisa berjalan dengan lancar karena para penyuling akan menggunakan tangkai/gagang cengkeh sebagai bahan bakunya. Tapi, jika musim kemarau tiba penyulingan bisa terus berproduksi sepanjang hari. Bahkan sehari bisa melakukan sampai 2 kali batch produksi/alat. Sedangkan pada musim penghujan, paling banyak hanya berproduksi 2 batch/minggu.

Saya sempatkan untuk bercakap-cakap lebih lanjut dengan pengelola pabrik penyulingan. Beliau mengatakan bahwa di Samigaluh ini terdapat 20 penyulingan minyak cengkeh yang aktif. Sangat banyak. Sehingga untuk mendapatkan bahan baku kadang-kadang harus bersaing antara satu penyuling dengan penyuling lainnya. Itulah sebabnya saya sempat terkaget-kaget ketika mendengar informasi bahwa harga daun cengkeh gugur kering yang diterima penyuling di Samigaluh ini antara Rp 500 – 600 /kg. Sedangkan harga tangkai cengkehnya Rp 1700 – 1800/kg. Padahal saya sendiri menyuling cengkeh dengan harga beli bahan baku di bawah angka tersebut. Bagaimanapun juga dengan harga bahan baku yang demikian tinggi, para penyuling di Samigaluh berlomba-lomba untuk mendapatkan rendemen minyak setinggi mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Dan ternyata, mereka cukup sukses untuk bisa survive selama ini. Hal ini salah satunya juga didukung oleh harga jual minyak cengkeh yang menarik. Minyak daun cengkeh di tingkat tengkulak pada saat saya berkunjung dihargai Rp 40.000 /kg sedangkan harga minyak tangkainya Rp 45.000 /kg.

Berbicara masalah rendemen, pada saat musim kemarau rendemen minyak daun cengkeh gugur yang berhasil mereka dapatkan antara 2,7% - 3% dengan waktu penyulingan efektif rata-rata 8 jam. Sedangkan pada musim penghujan hanya 1.5% - 2% tetapi harga daunnya turun menjadi sekitar Rp 400/kg. Untuk tangkai cengkeh kering, mereka bisa dapatkan rendemen rata-rata 5% untuk kapasitas sekali suling 1 ton tangkai cengkeh selama 16 – 18 jam. Tenaga kerja dibayar secara variabel sesuai dengan jumlah minyak yang diperoleh. Per 1 kg minyak cengkeh yang dihasilkan, tenaga kerja produksi dibayar Rp 2000 - Rp 2500. Jika sekali menyuling mendapatkan 30 kg minyak maka ongkos tenaga kerjanya Rp 60.000 – Rp 75.000 yang dibagi-bagi berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Sedangkan ongkos bahan bakar bisa dikatakan nihil karena mereka memanfaatkan ampas sisa penyulingan. Dari data-data primer di atas, pembaca bisa memperkirakan sendiri berapa keuntungan yang akan diperoleh penyuling untuk sekali produksi (misalnya untuk basis 1 ton daun / 1 ton tangkai).

Sayapun tak luput untuk mengamati alat-alat produksinya. Hampir semua penyulingan minyak daun cengkeh skala besar memang menggunakan sistem penyulingan uap-air (kukus) dengan bahan bakar daun ampas penyulingan dan ditambah sedikit kayu bakar (jika dirasa kurang). Ketel pertama berkapasitas 1000 kg daun cengkeh/batch dan ketel kedua sekitar 800 kg/batch. Untuk ketel pertama, diameternya sekitar 1,8 m dan tinggi total 2,5 m. Pada bagian bawah ketel dilengkapi pipa-pipa api untuk mengoptimalkan proses perpindahan panas dari api/gas cerobong menuju air di dasar ketel untuk diubah menjadi uap. Gas cerobong tersebut mengalir melalui pipa-pipa api dan selanjutnya dibuang ke udara atmosfer melalui cerobong asap. Pendingin yang digunakan berasal dari bahan aluminium yang dibuat melingkar dan tercelup pada sebuah kolam pendingin. Sedangkan pemisah minyaknya terdiri dari 7 buah drum yang disusun bertingkat untuk menghindari adanya minyak yang terbuang bersama kondensat. Tidak ada yang menurut saya istimewa tentang proses produksi minyak cengkeh di Samigaluh ini. Untuk menghasilkan rendemen minyak yang setinggi mungkin kuncinya adalah bagaimana mengupayakan proses pembakaran di tungku berlangsung stabil, perpindahan panas baik, dan api yang dihasilkan besar sehingga laju alir uap yang masuk ke tumpukan bahan baku menjadi besar. Sebab jika apinya kecil dan tidak stabil, ada beberapa kerugian yang akan dituai oleh penyuling yaitu ; rendemen rendah, waktu penyulingan lama, dan kadar eugenol rendah.

Yah.....secara teori sih mudah, secara praktek......belum tentu....hehehe. Pokoknya harus dibuktikan lah. Tantangan nih bagi para peneliti, mahasiswa, dosen (termasuk saya....:p) yang gemar menulis tapi tak pernah mengaplikasikan ide-idenya ke lapangan (mudah2an saya bukan termasuk golongan ini...). Malah, jangan-jangan lebih pintar si penyuling daripada orang-orang yang mengaku intelek tapi ngga pernah turun langsung ke lapangan untuk melihat bagaimana sulit dan kompleksnya urusan minyak atsiri ini. Ingat-ingat, faktor X di lapangan jauh lebih kompleks daripada faktor variabel untuk perlakuan obyek pada suatu penelitian. Mmmmhhh... mohon maaf, ngelantur nih.

Apapun itu, Samigaluh tetaplah sebuah daerah yang kaya akan potensi sumber daya alam yang sedikit banyak turut berkontribusi terhadap kemajuan komoditas minyak atsiri Indonesia. Sebuah daerah yang sejuk dan damai. Cocok untuk belajar dan mengaplikasikan ide-ide keilmuan bagi kaum intelek terkait untuk membantu mengatasi permasalahan-permasalahan penyuling di sana baik teknis maupun non-teknis dengan jargon ”pengabdian masyarakat” supaya Samigaluh tetaplah menjadi daerah yang harum mewangi. Dan...... saya pun masih harus belajar banyak dari penyuling-penyuling ini.

NB. Unfortunately, I forgot to bring my camera when I had a trip to Samigaluh. The picture above is taken from http://www.bi.go.id/sipuk/id/lm/atsiri/produksi.asp . The picture is taken from the same location at Samigaluh.